POJOK  ONNO W. PURBO  

Membangun Infrastruktur Pengetahuan Indonesia yang Mandiri.
Teknologi Telepon Indonesia Sudah Uzur.
Internet Gratis?

Membangun Infrastruktur Pengetahuan Indonesia yang Mandiri.
Onno W. Purbo, Ismail Fahmi

Jika kita berjalan melalui gedung ex DEPPEN di Merdeka Barat yang baru saja di likuidasi oleh Presiden Gus Dur terpampang sebuah spanduk besar berkata kira-kira 85% bangsa ini berada di pedesaan dan membutuhkan informasi. Yang membuat hati lebih kecut lagi jika melihat data-data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang kira-kira menunjukan paling tidak 80% tenaga kerja di Indonesia berpendidikan maksimal sekolah dasar. Padahal program telematika Indonesia yang di tumpu oleh konsep Nusantara 21 yang sponsori study-nya oleh Yayasan Litbang Telekomunikasi Informatika (YLTI – http://www.ylti.or.id / ylti@telkom.co.id) jelas-jelas secara eksplisit ber-visi kendaraan "Nusantara 21" sebaiknya membawa bangsa ini menuju Knowledge Based Society. Artinya bangsa ini bisa berkarya menggunakan otaknya bukan sekedar ototnya. Sebuah visi yang berat melihat kondisi 80% lebih bangsa ini ternyata berada di pedesaan & berpendidikan sangat rendah.

Tampaknya strategi yang di anut dalam pinjaman Bank Dunia & di setujui Bappenas yang mengambil ide "Nusantara 21" dalam bentuk Program Information Infrastructure Development Program (IIDP) dengan pinjaman yang sangat besar tampaknya sebagian besar kurang mengarah ke sisi taktis yang bisa mengatasi kondisi medan dengan di atas. Dana tersebut sebagian habis untuk masalah Hak Cipta, IT Training Program, IT agenda dan sebangsanya. Jadi pola-pola bangsa bule lah yang di anut dalam hal ini. Maklum konsultan dari Bank Dunia yang membuat Term of Reference (TOR) pinjaman IIDP memang bule. Pola yang dipakai pinjaman Bank Dunia lebih cenderung pada pendekatan projek, yang setelah proyek tersebut habis kemungkinan besar tidak banyak komponen proyek tersebut yang kemudian berlanjut secara mandiri karena memang sangat kurang di arahkan pada pergerakan bangsa ini yang sifatnya mandiri, swadaya dan berkesinambungan seperti strategi yang secara eksplisit di tulis dalam kerangka konseptual Nusantara 21 – bagi pembaca yang ingin memperoleh softcopy naskah Nusantara 21 dalam memperolehnya dari beberapa tempat seperti http://n21.ac-id.net, http://www.ylti.or.id atau via e-mail dari ylti@telkom.co.id / onno@indo.net.id.

Tulisan ini mencoba memberikan alternatif pendekatan untuk membangun bangsa ini menuju sebuah knowledge based society – jika mungkin tidak perlulah kita berhutang pada Bank Dunia / IMF / ADB untuk itu. Secara umum akan ada dua komponen utama dalam infrastruktur pengetahuan yang perlu diperhatikan yaitu yaitu (1) sisi pembangkit pengetahuan dan (2) sisi pendistribusi dan akses pengetahuan yang keduanya harus dapat mandiri dari sisi finansial.

Sisi distribusi pengetahuan mungkin lebih mudah untuk dimengerti. Ide seperti pendidikan jarak jauh, penyebaran melalui CD-ROM, akses Internet, pengembangan warung Internet, community telecenter merupakan perwujudan dari proses distribusi pengetahuan tersebut. Dari sisi teknologi sebagian besar proses / ide yang ada untuk mendistribusikan pengetahuan tersebut dapat mendanai diri sendiri. Sebagai contoh biaya distribusi CD-ROM sekarang dapat ditekan menjadi US$1/buah. Penggunaan WARNET juga menjadi menarik secara bisnis karena dana investasi yang tidak terlalu besar Rp. 25-60 juta / WARNET yang dapat kembali dalam waktu 1-1.5 tahun dengan terbuka-nya teknologi WARNET di buku "Teknologi Warung Internet" yang diterbitkan oleh Elexmedia Komputindo dan roadshow yang akan dimulai tgl 27 January 2000 di ITB.

Teknologi Telepon Indonesia Sudah Uzur.
Onno W. Purbo, Luthfi K. Arif dan Adnan Basalamah.
Computer Network Research Group ITB.

Kemungkinan akan ada beberapa pendapat yang akan timbul dengan penggunaan judul di atas. Jika kita memihakan diri pada rakyat Indonesia yang menjadi pengguna jasa telepon, pertanyaannya sederhana saja – apa yang akan di "derita" oleh rakyat dengan penggunaan teknologi uzur tersebut? Jawaban singkatnya juga sederhana – tarif telepon menjadi tinggi. Belum lagi di tambah tidak efisiensinya manajemen di Indonesia yang menyebabkan penambahan biaya overhead yang lumayan. Terlepas dari masalah manajemen, mari pada kesempatan ini kita pandang masalahnya dari sisi netral sudut teknologi saja. Seharusnya judul yang dipilih adalah "Mengapa rakyat yang harus menanggung kesalahan kebijakan teknologi telekomunikasi yang salah?".

Jika kita membaca beberapa tulisan yang berkaitan dengan Telekomunikasi, contohnya ada beberapa buah di Bisnis Indonesia, tampak bahwa argumentasi akan bertumpu pada investasi US$ yang cukup mahal per SST dan rendahnya pendapatan per SST sehingga masa payback dibutuhkan waktu yang relatif lama yaitu 10-15 tahun. Salah satu yang eksplisit adalah artikel "Tarif telepon naik salah, tak naik salah" yang merupakan laporan khusus pada tanggal 14 Oktober 1999 - dalam artikel tersebut ditulis secara eksplisit bahwa investasi teknologi yang digunakan oleh Telkom sekitar US$1000-1250 per SST dengan pemasukan US$125 / line / tahun. Kemudian dengan berbagai kondisi / argumentasi tampaknya operator jaringan telekomunikasi kita di Indonesia sudah bersusah payah untuk berjuang supaya jaringan telekomunikasi di Indonesia menjadi layak & affordable digunakan oleh masyarakat indonesia.

Komentar singkatnya. Dengan kebijakan teknologi & manajemen yang dipilih oleh telkom / operator jaringan telekomunikasi yang ada sekarang dan dengan adanya monopoly dll – harga yang diberikan Telkom / Indosat adalah harga yang tampaknya minimal yang bisa diperoleh masyarakat dengan teknologi & manajemen yang mereka pakai sekarang. Akan tetapi perlu di ingat disini bahwa masyarakat pengguna tidak diberikan pilihan / alternatif untuk memilih jika mereka ternyata mampu untuk membangun sendiri jaringan telekomunkasinya karena dari sisi hukum – semua jaringan telekomunikasi harus di selenggarakan oleh operator jaringan yang memperoleh lisensi dari pemerintah.

Pertanyaannya sekarang – apakah tidak ada alternatif teknologi telekomunikasi yang lain? Apakah US$1000-1250 / SST merupakan satu-satunya alternatif teknologi? Apakah tidak ada teknologi telekomunikasi lain yang bisa menekan harga SST dibawah US$1000? Jelas kalau ternyata US$1000 adalah bottom-line dari harga teknologi telekomunikasi dengan kualitas yang baik maka kita semua (bangsa Indonesia) tidak punya banyak pilihan kecuali mengikuti pola tarif yang digunakan Telkom / Indosat yang di setujui oleh Pemerintah sesuai UU 36/1999. Respons kami yang singkat adalah – alternatif teknologi telekomunikasi yang lebih murah itu ada & cukup banyak tersedia - kami melihat banyak alternatif teknologi yang berkembang saat ini yang mampu menekan harga per SST menjadi jauh dibawah US$1000. Selain itu di Indonesia saat ini sangat banyak idle capacity terutama di operator-operator jaringan selular, jika saja monopoly Telkom / Indosat tidak ada maka sebetulnya idle capacity tersebut dapat digunakan dan dapat menekan biaya telekomunikasi lebih murah lagi.

Sebelum membicarakan lebih lanjut, dimana kita semua dapat melihat alternatif tersebut? Bagi para pembaca yang mempunyai akses Internet sangat kami sarankan untuk melihat-lihat http://www.pulver.com/gateway/ yang memiliki daftar panjang teknologi telepon di masa datang terutama menggunakan Internet, mulai dari suplier komponen gateway, perangkat keras & perangkat lunak untuk gateway, IP based PBX / PABX, low density gateway, IP gatekeeper, IP telepon billing sistem, FAX melalui IP telepon dll. Referensi yang sangat menarik untuk melihat operator telekomunikasi generasi mendatang ada baiknya melihat pada http://www.pulver.com/nextgen yang banyak membahas tentang operator telekomunikasi generasi mendatang, bahkan ada beberapa operator yang menspesialisasikan dirinya pada minute exchange dan bandwidth exchange untuk pembicaraan telepon yang mungkin sulit dibayangkan dalam environment monopoly yang ada di Indonesia sekarang. Jangan kaget kalau ternyata sangat banyak sekali operator telekomunikasi generasi mendatang yang menumpukan teknologinya pada teknologi Internet yang jelas lebih murah per SST-nya di bandingkan investasi teknologi yang dilakukan oleh Telkom / Indosat. Secara umum investasi infrastruktur internet telepon bisa mencapai sekitar 10 kali lebih murah dibandingkan infrastruktur telepon konvensional.

Bagaimana kondisi di dunia global saat ini? Seperti kami sarankan sebelumnya ada baiknya coba untuk membaca http://www.pulver.com/nextgen untuk informasi lebih lanjut. Secara umum sebagian besar dari kebijakan teknologi yang diusulkan untuk membangun telkom generasi mendatang akan berbasis pada teknologi internet (istilahnya IP-centric network) yang saat ini menjadi alternatif utama bagi pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang murah dan reliable.

Jangan terlalu kaget kalau Frank Ianna, presiden direktur dari AT&T Network Services telah menghentikan pembelian semua peralatan switch telepon tradisional mereka hanya akan melakukan investasi menggunakan peralatan IP-centric network. Jadi sebuah kebijakan yang sangat salah jika Telkom / Indosat / operator telkom di Indonesia jika mereka masih berkutat dengan teknologi telepon tradisional – jelas harga jual ke pasar akan tinggi & menjadi beban konsumen. Belum lagi jika IP-centric network ini digabungkan dengan jaringan dengan bandwidth lebar yang memungkinkan konvergensi multimedia dengan infrastruktur telekomunikasi, sehingga membuka peluang yang besar bagi usaha telekomunikasi mulai dari conference calling, integrasi internet kecepatan tinggi ke telepon, entertainment dll.

Mengapa IP-centric network? Internet saat ini menjadi sebuah unifying dan enabling protokol bagi semua jenis / bentuk komunikasi. Karena infrastruktur internet sangat ekonomis dibandingkan jaringan tradisional. Pengembangkan infrasruktur internet membutuhkan waktu beberapa minggu dibandingkan infrastruktur telepon tradisional yang membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan tahun. Internet memungkinkan pemaksimuman penggunaan jaringan telekomunikasi tradisional yang membutuhkan sambungan khusus setiap pelanggan menjadi bit informasi dengan banyak sumber pada Internet. Oleh karena rendahnya kebutuhan teknis maupun biaya infrastruktur ditambah dengan fleksibilitas yang sangat tinggi dari Internet akan menjadi penyebab utama penggunaan Internet sebagai infrastruktur utama telkom generasi mendatang.

Supaya pembicaraan kita mencapai bottom-line dengan cepat pertanyaan lebih lanjutnya adalah - berapa perkiraan harga jika kita menggunakan teknologi Internet / internet telepon? Mari kita membahas secara bertahap alternatif teknologi telekomunikasi yang digunakan baik dari jaringan lokal, jaringan regional maupun jaringan internasional.

Untuk jaringan telekomunikasi lokal (jarak 5-10 km) dari pengalaman kami di CNRG ITB & AI3 Indonesia di lapangan maka barangkali alternatif yang paling murah sejauh ini adalah teknologi CDMA IEEE 802.11 yang mempunyai kecepatan 2-11 Mbps bekerja pada frekuensi 915MHz, 2.4 GHz, 5.6GHz & 10GHz. Dengan 2Mbps data jika kita menggunakan prinsip codec PCM biasa yang digunakan Telkom maka 2Mbps kira-kira ekivalen dengan 30 SST, sedang jika kita menggunakan kompresi internet telepon seperti G.723 maka 2Mbps kira-kira sama dengan 200 SST! Berapa biayanya? Investasi peralatan yang kami gunakan adalah sekitar US$6000 untuk sambungan 2Mbps di 2.4GHz – jika kita menggunakan codec PCM biasa (30 SST), maka biaya investasi saluran lokal adalah sekitar US$200 / SST, bayangkan jika kita menggunakan codec G.723 maka biaya investasi saluran lokal adalah US$30 / SST artinya sekitar 1/30 lebih murah dibandingkan dengan investasi yang dilakukan oleh Telkom / Indosat saat ini. Belum lagi jika kita menggunakan peralatan 11Mbps yang harganya hanya sekitar 2 kali peralatan 2Mbps artinya investasi per SST-nya dapat di banting menjadi beberapa US$ saja sehingga penggunakan telekomunikasi di Indonesia akan semakin ceria bukan? Semua teknologi ini sudah ada & kami di CNRG ITB telah biasa menggunakannya sejak 2-3 tahun belakangan ini yang jika digunakan dengan baik akan memberikan kualitas yang baik - Menarik bukan?

Argumentasi selanjutnya mungkin pada peralatan switching telepon yang digunakan. Peralatan yang digunakan di kantor-kantor telepon saat ini terus terang bukan peralatan yang murah orde-nya mulai dari beberapa milyar bahkan mungkin ratusan milyar untuk peralatan yang dapat menghandel ratus ribu SST. Bagaimana dengan internet telepon, sekarang ini berkembang keluarga protokol H.323 yang berfungsi sebagai "sentral telepon" dan dapat berbicara dengan sentral telepon konvensional – yang menarik, keluarga H.323 ini dijalankan di komputer bukan di sentral telepon, jadi yang harus kita invest adalah komputer dengan memory yang cukup besar dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk menghandle ratus ribu sambungan tadi. Tentunya bisa kita bayangkan bahwa harganya akan jauh lebih rendah dibandingkan sentral telepon tradisional yang digunakan oleh operator jaringan telekomunikasi di Indonesia sekarang. Harga switch internet telepon dapat mencapai 30 – 70 % lebih rendah dibandingkan harga switch tradisional, dengan kapasitas yang sama ditambah dengan kemampuan yang jauh lebih menarik. Sebagai contoh, switch IP telephony yang dibuat oleh Summa Four (telah diakuisisi oleh Cisco System) menawarkan kemampuan yang sama dengan switch tradisional ditambah dengan kemampuan programmable. Kemampuan programmable ini menawarkan penyedia jasa telekomunikasi melakukan pemrograman pada switch untuk disesuaikan dengan jasa yang akan ditawarkan ke pelanggan, tentu saja dengan biaya yang lebih murah dan membebaskan ketergantungan dari vendor. Tanpa kemampuan programmable, biasanya perusahaan telekomunikasi harus mengganti perangkat lunak pada switch yang digunakan secara periodik guna menambahkan atau melengkapi feature dari switch tersebut. Tentu saja proses penggantian ini tidak murah dan ditambah dengan jenis serta bentuk jasa yang diberikan sangat terbatas pada feature yang ada pada perangkat lunak tersebut. Informasi switch ini dapat dilihat di http://www.vco4k.com atau di http://www.cisco.com/warp/public/cc/cisco/mkt/ps/vco4k/index.shtml. Developer switch internet telepon adalah Excel Switching (baru diakuisisi oleh Lucent Technologies) dengan informasi yang dapat dilihat pada http://www.xl.com

Tentunya solusi switch H.323 ini bukan hanya di monopoly oleh operator jaringan telekomunikasi – tetapi wartel / kantor kecil / usaha rumahan (SOHO) pun dapat menggunakan solusi H.323 dalam bentuk PC biasa yang menjalankan software H.323 sebagai virtual PBX software tersebut dapat di beli di http://www.quicknet.net yang biasanya di bundle dengan perangkat keras Internet PhoneJACK untuk membantu kompresi G.723 pada internet telepon. Total harga untuk kelas SOHO ini berkisar sekitar US$200-300 / unit yang bisa dipakai oleh beberapa sambungan sekaligus – artinya masih lebih murah dibandingkan investasi per SST dengan teknologi telekomunikasi tradisional. Arti dari semua ini lagi-lagi investasi peralatan dengan teknologi mendatang dapat ditekan lebih rendah daripada teknologi telekomunikasi tradisional.

Jika diperhatikan dengan baik dari penjelasan di atas maka sebetulnya model pengembangan infrastruktur telekomunikasi akan lebih distributed dibandingkan dengan kondisi jaringan telekomunikasi dengan teknologi tradisional yang ada sekarang. Teknologi Internet memungkinkan terbentuknya sebuah jaringan telekomunikasi yang sangat terdistribusi dengan banyak switch / sentral / PBX terkait di dalamnya. Konsep WARTEL / WARNET akan berubah dengan dipasangnya switch / sentral / PBX secara lokal. Di perkantoran / kompleks perumahan, investasi kabel jaringan menjadi rendah karena kita cukup menarik satu saluran kecepatan tinggi ke lokasi yang kemudian di kaitkan ke sentral kecil sebelum di sebarkan ke pengguna. Semua ini hanya dimungkinkan jika teknologi internet dapat di adopsi tanpa terbentur dengan proses monopoly / regulasi yang berlangsung. Kami merencanakan untuk mengadakan roadshow seminar mensosialisasikan teknologi WARNET, internet telepon ini yang akan di mulai Insya Allah pada tanggal 29 Januari 2000 di Aula Barat ITB – informasi lebih lanjut pada library@itb.ac.id.

Bagaimana dengan jaringan telekomunikasi regional & internasional, konsep yang sama sebetulnya berlangsung - terus terang jika kita ingin kualitas yang baik dengan harga yang relatif murah per SST-nya maka kita sebaiknya menggunakan fiber optik atau microwave dengan bandwidth lebar. Detailnya mungkin agak sulit dijelaskan dalam tulisan singkat ini. Secara garis besar ada beberapa alternatif yang bisa kita gunakan:

  1. Saat ini ada banyak sekali bandwidth yang idle di jaringan telekomunikasi di Indonesia terutama di operator-operator selular. Sebagian besar bandwidth ini mengggunakan microwave bandwidth lebar & fiber optik dan dapat diperoleh dengan harga murah. Jika saja monopoly tidak ada maka bandwidth idle ini dapat digunakan dan dapat menekan harga.
  2. Melakukan unbundling komponen infrastruktur telekomunikasi, contohnya kita dapat menyewa hanya fiber optik-nya saja bukan end-to-end solution. Proses unbundling harus dibuat transparan ke publik sehingga publik dapat dengan mudah memilih jasa mana yang dia inginkan tapi tidak semua komponen di sewa.
  3. Ijin untuk melakukan resale infrastruktur telekomunikasi, sederhananya operator telkom generasi mendatang diijin untuk membeli hanya fiber optik milik Telkom sekarang yang kemudian dijual lagi untuk SLJJ dengan biaya murah ke pasar.
  4. Sebagai gambaran saja, kita dapat menyewa saluran SLI internasional minimal 1/3 lebih murah jika kita dapat langsung melakukan bisnis dengan operator internasional tanpa melalui operator jaringan SLI di Indonesia yang ada sekarang. Hanya regulasi di Indonesia menutup kemungkinan itu semua.
  5. Alternatif lain jika kita bermodal besar – melakukan investasi jaringan telekomunikasi sendiri umumnya berbandwidth lebar dan jarak jauh.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi kita semua bahwa sebetulnya cukup banyak alternatif teknologi infrastruktur jaringan telekomunikasi yang tersedia. Pertanyaannya, fairkah jika kita membiarkan masyarakat / pengguna menanggung beban kesalahan pemilihan / kebijakan teknologi oleh operator jaringan telekomunikasi? Bolehkan masyarakat / bangsa ini memilih – jika ternyata ada alternatif teknologi yang ternyata lebih murah & lebih baik? Kami mengerti posisi pemerintah menjadi serba sulit karena sudah menjanjikan investor Indosat & Telkom proteksi pada saat IPO disamping tugas yang dibebankan untuk "melindungi" aset bangsa berupa PT Telkom & PT Indosat (yang notabene sekarang sudah merupakan public company bukan BUMN lagi). Sulit memang, tapi mau tidak mau kita harus melalui hal ini semua untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Internet Gratis?
Onno W. Purbo

Gila – barangkali itu kata yang pertama kali terbayang kalau ada orang yang memberi akses Internet gratisan. Komputer, telepon, & akses ke jalur internasional yang semuanya tidak ada yang murah – dapat digunakan user secara gratisan. Secara logika sederhana mungkin tidak masuk akal. Tapi Internet gratis bukan suatu yang mustahil lho – di Inggris sudah beroperasi, di Singapura juga sama, di Amerika ada FreeNet yang juga gratis. Bukan hanya Internet yang gratis – handphone yang harga minimal Rp.1 juta di Indonesia – di Amerika / di negara barat sudah sejak lama dijual gratis. Memang dunia ini kalau dipikir suka tidak fair, di negara maju yang kaya justru banyak yang diberikan gratis & murah – sedang kita di Indonesia yang terpuruk malah apa-apa jadi harus bayar dan mahal.

Bagaimana kalau Internet gratis masuk ke Indonesia? wah pasti seru ceritanya. Sebetulnya banyak gratisan yang dinikmati user Internet Indonesia, coba perhatikan - e-mail Web gratis, contoh hotmail.com, yahoo.com, usa.net, qsl.net. Web juga banyak yang gratisan – seperti geocities.com. Bagaimana akses ke Internet / ISP atau akses ke WARNET gratis di Indonesia? Bagaimana kalau FreeNet di Amerika, di Singapura, di Inggris boleh masuk ke Indonesia dan memberi akses gratisan? Ini barangkali baru terobosan di masa krismon – bangsa ini membutuhkan solusi-solusi ini untuk tetap survive demikian kira-kira yang dipikir oleh para ekonom & politikus. Bukan terobosan yang terlalu buruk juga sebetulnya – karena akan sangat membantu membangun bangsa menuju "knowledge based society" lebih cepat.

Bagaimana gratisan ini terjadi? Internet dari sisi informasi-nya tidak berbeda dengan bisnis media – perhatikan media televisi, radio, koran / surat kabar. RCTI, ANTV, SCTV, IndoSiar, KOMPAS, Republika, Rase FM, OZ FM, Prambors, Delta FM sebagian besar hidup dari iklan & bukan iuran pembaca / pendengar / pemirsa-nya. Kuncinya semakin banyak pendengar / pembaca-nya dari golongan tertentu – maka semakin mungkin untuk memperoleh iklan yang di arahkan ke golongan pembaca / pemirsa tertentu tersebut.

Di Internet juga sama - semakin banyak massa berkumpul di suatu tempat virtual semakin mahal tempat tersebut sebagai ajang iklan. Perhatikan hotmail.com, yahoo.com – praktis semua tempat yang banyak di kunjungi orang menjadi tempat paling banyak di pasangi iklan-iklan. Kita bicara disini dalam orde juta-an manusia yang mengakses hotmail.com / yahoo.com. Bagaimana dengan Indonesia tampaknya sekarang yang menikmati pemasukan iklan dalam jumlah besar tidak banyak – minimal kompas.com & detik.com masing-masing berkisar antara seratusan juta / bulan hingga puluhan juta / bulan – semua dari iklan – yah lumayan buat balik modal. Jelas disini kalau bisa mengumpulkan massa & sukur-sukur tahu profile massa tersebut – nah massa ini bisa menghasilkan banyak uang (melalui iklan dsb) dan bisa di arahkan untuk kepentingan tertentu baik ekonomi maupun politik.

Cara mengumpulkan massa di Internet? Coba simak ke istimewan internet di banding media lain – Internet bisa komunikasi dua arah / interaktif, bisa di customized & bisa memberikan informasi "real-time"; ini kurang di media lain. Tinggal di eksploitasi kelebihan ini untuk mengumpulkan massa sebesar-besarnya. Umumnya informasi "real-time" & customized sudah di exploitasi oleh media massa di Internet seperti CNN, Wall Street Journal dll – tapi masih satu arah. Bagaimana dengan kemampuan interaktif? Ini kira-kira sama dengan talk-show, forum diskusi dimana kita bisa membentuk group yang lebih fokus pada bidang tertentu. Fokus group ini lebih menarik lagi buat pemasang iklan untuk target pasar tertentu.

OK jadi Internet gratis sangat mungkin kalau massanya banyak dan dilakukan cross subsidi dari pendapatan lain (terutama iklan)? Bagaimana dengan Indonesia mungkinkah itu? – lagi-lagi kuncinya pada massa; sekarang ini jumlah absolut massa internet Indonesia kalah jauh dari negara tetangga Malaysia, Singapura & Thailand. Ya maklumlah jumlah orang pandai (berpendidikan tinggi) yang haus informasi tidak sebanyak negara tetangga kita – banyak orang pandai Indonesia yang terbiasa hidup dengan paradigma orde baru selama 32 tahun seperti cari proyek, KKN dll – akhirnya tidak terbiasa berkompetisi, berbahasa inggris dan tidak biasa mencari informasi / pengetahuan untuk kompetisi.

Jadi ada beberapa hal yang mendasar dalam lingkungan bangsa Indonesia yang perlu ditata sebelum Internet gratis menjadi mungkin. Dua yang strategis - pendidikan bagi bangsa dan kompetisi yang sehat (bukan berdasarkan KKN, monopoly dan kedekatan pada kekuasaan) menjadi resep. Kompetisi & anti-korupsi tampaknya sudah menjadi agenda utama di masa reformasi. Tapi saya belum melihat pendidikan sebagai agenda reformasi – coba kalau kita kelapangan, betapa sulitnya untuk memperoleh akreditasi, belum lagi harus ujian negara, banyak hal yang menghambat di dunia pendidikan harus di pangkas habis.

Kalau Internet gratis nantinya masuk ke Indonesia – saya termasuk yang berharap agar Internet gratis masuk ke Indonesia tentunya – bagaimana dengan ISP yang ada? Matikah mereka? Tentu peta persaingan akan menjadi sangat menarik. Pada dasarnya bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh sekali, bahkan cukup kreatif’lah dimasa krismon ini saja ISP masih bisa hidup, sesuatu yang hampir mustahil di dunia sana. Adanya Internet gratis akan memaksa ISP yang ada mau tidak mau harus melakukan restrukturisasi tarif dengan melakukan proses cross subsidi dari sisi content. ISP yang ada sebetulnya mempunyai kekuatan awal, mereka sudah punya pelanggan – nah pelanggan ini jika di mapping ke sisi content merupakan potensi besar sebagai penghasil devisa. Adanya devisi tambahan akan dapat meng-cross subsidi tarif akhirnya menjadi lebih kecil & menguntungkan semua pihak baik ISP memperoleh jaminan kelanggenan user dan user sendiri suka karena tarif lebih murah. Harapan saya, mudah-mudahan akal-akalan cross subsidi ini tidak digunakan oleh operator infrastruktur seperti Telkom & Indosat dengan cara meng-cross subsidi tarif dari infra-struktur, karena ini merupakan praktek yang tidak fair karena mereka penyelenggara infrastruktur yang effeknya akan merusak pasar.