PP NOMOR 60 DAN 61 TAHUN 1999 DAN KEBERLANGSUNGAN PTS

Pendahuluan
Seiring dengan bergulirnya semangat reformasi pada berbagai sisi dan segmen kehidupan bangsa, dimana salah satu isyu yang menarik adalah pembagian kekuasaan dan wewenang antar pusat dan daerah, berimplikasi luas terhadap berbagai praktek penyelenggaraan institusi. Konsekwensi logis dari berkurangnya beban -tugas dan wewenang- pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi terlihat jelas dalam isi peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, dan juga peraturan pemerintah nomor 61 tahun tahun 1999, tentang Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum.
Berdasarkan sejarah keberadaan pendidikan tinggi, pada dasarnya perguruan tinggi diarahkan untuk menjadi institusi yang memiliki ciri otonom, setidak-tidaknya dalam konteks pengembangan keilmuan. Namun, karena masuknya kepentingan politik tertentu dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini, maka ciri otonomi tersebut menjadi bias. Sehingga dapat dipastikan pemberlakuan kedua peraturan pemerintah tersebut, secara umum tidaklah menjadi permasalahan prinsip bagi sivitas akademika.
Akan tetapi, berdasarkan kajian kami, pada tahap awal akan timbul permasalahan level kedua (the second level problems) karena penerapan sistem manajemen baru, khususnya pada PTN yang ditetapkan sebagai badan hukum, yang imbasnya akan sangat terasa bagi PTS.
Perguruan tinggi swasta saat ini sangat heterogen, baik pada tataran infra struktur maupun sufra struktur pendidikannya. Keadaan tersebut sangat mempengaruhi kesiapan mereka dalam melaksanakan berbagai ketentuan dalam PP nomor 60/1999, maupun ketangguhan untuk menjaga survivalitas menghadapi berbagai langkah akselerasi PTN dalam melaksanakan kedua peraturan pemerintah tersebut.
Tulisan ini mengkaji berbagai aspek krusial yang memiliki dampak langsung, maupun tidak langsung, terhadap kinerja PTS sebagai implikasi pemberlakuan kedua peraturan pemerintah tersebut.
Aspek tersebut antara lain, peran pemerintah, ketenagakerjaan, moral hazard, dan kualitas akademik. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut sejauh mungkin di lihat dari sudut pandang PTS, oleh sebab itu, boleh jadi sangat subjektif. Namun walaupun begitu perlu dilihat sebagai realitas dalam konteks pengembangan sistem pendidikan tinggi, mengingat peran PTS selama ini cukup signifikan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Peran Pemerintah
 Peran pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan di berbagai negara sangat bervariasi, namun pada prinsip keterlibatannya hampir dipastikan tidak berada pada titik nol. Bentuk umum peran dan keterlibatan tersebut, adalah dikeluarkannya berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan dukungan pendanaan.
  Kehadiran kedua peraturan, PP Nomor 60 dan 61, merupakan bentuk dari peran pertama tersebut. Sejauh ini telah memberikan kepastian dan dukungan formal terhadap keberadaan perguruan tinggi. Namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh komitmen pejabat pelaksana di tingkat operasional, dan kemampuan mengkoordinasikan komitmen tersebut kepada lembaga departemental lainnya.
Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 1999, maupun peraturan pemerintah sebelumnya, secara jelas memposisikan PTN dan PTS yang sejajar. Hal mana dibuktikan dengan pemberlakuan mekanisme akreditasi nasional yang sama bagi PTN dan PTS. Logikanya, berbagai kebijakan bagi PTN dan PTS tidak selayaknya mendikotomikan keduanya. Namun apa yang terjadi, salah satu surat keputusan Menteri Keuangan, yang mengatur penyelenggaraan pembayaran kewajiban pajak, untuk pekerjaan penelitian dan pekerjaan profesional lainnya, masih tetap memberlakukan standar ganda untuk PTN dan PTS. Sivitas akademika PTS diperlakukan sangat diskriminatif dalam keputusan tersebut. Sehingga komitmen mensejajarkan PTS dan PTN menjadi bias, hal ini diduga kurang koordinasi antar lembaga terkait di tingkat operasional. Itu adalah salah satu contoh kurang konsistennya dukungan formal pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Peran kedua pun, yakni dukungan pendanaan, memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Pada pasal 114 PP no.60 ayat (1) ditegaskan kembali, bahwa pemerintah sebagai salah satu sumber pembiyaan, yang tentu saja berlaku umum bagi PTS dan PTN. Namun, dalam berbagai kasus misalnya bea siswa, dana penelitian dan pengabdian pada masyarakat, PTS mendapat alokasi yang kurang proporsional dengan  jumlah mahasiswa yang dilayani.
Seiring dengan penempatan PTN dan PTS yang sejajar dalam PP no. 60, dan perlunya sistem koordinasi yang sepadan antar keduanya. Maka implikasi yang perlu ditindaklanjuti adalah penyempurnaan kelembagaan Kopertis menjadi Koperti (Koordinasi Perguruan Tinggi). Pasal 129 ayat 2 mengisyaratkan adanya kerjasama yang lebih intensif antara PTS dan PTN di masa depan, untuk memperoleh manfaat yang seimbang antar keduanya, dibutuhkan lembaga abritase, yang dalam hal ini dapat diperankan oleh koperti tersebut.
Koperti ini menjadi lebih bermakna, manakala PP 61 mulai dijalankan untuk seluruh PTN. Pasal 8 khususnya ayat 2, menegaskan salah satu unsur Majelis Wali Amanat adalah menteri. Koperti dapat dijadikan alternatif yang paling mungkin untuk mewakili kepentingan menteri di daerah. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maupun Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah; mengisyaratkan keragaman dalam manajemen daerah di masa datang. Maka untuk mengikuti keragaman tersebut, maka unsur yang mewakili menteri di daerah, harus memiliki kepekaan dan memiliki basis yang jelas di daerah.

Ketenagakerjaan
Dosen adalah elemen ketenagakerjaan yang paling penting dalam menentukan kinerja kelembagaan. Sejauh ini banyak PTS yang masih menghadapi masalah pada penyediaan elemen ini secara layak. Dosen bantuan pemerintah (dosen dpk) selama ini telah memberikan kontribusi yang bermakna, baik dilihat dari substansi penyelenggaran program akademik, maupun citra pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh masyarakat. Demikian pula kebijakan mengenai keberadaan dosen luar biasa, yang masih diakomodasi pada pasal 101 PP 60/1999, sangat dihargai dan terasa manfaatnya bagi PTS, malahan dianggap sebagai program yang paling nyata dalam proses pembinaan PTN dan PTS di masa lalu.
Namun apabila PP no.61/1999 mulai diterapkan, maka masalah dosen ini akan sangat membebani penyelenggaraan program akademik oleh PTS.
Bila pasal 24 ayat (3) dianalogikan kepada dosen dpk., maka dapat dipastikan respon PTS akan sangat bervariasi, mengingat kondisi yang dihadapi PTS sangat beragam. Barangkali akan banyak PTS yang terpaksa mengembalikan dosen dpk., karena ketidaksanggupan anggaran keuangannya. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, bila dipahami bahwa UU no.25/1999 sebagai bentuk desentralisasi ketimbang dekosentrasi, maka dosen dpk. tidak perlu melepaskan diri dari statusnya sebagai PNS, tetapi hanya berubah dari status pegawai pusat menjadi pegawai otonom.
Selanjutnya bila mengacu pada yang (1) pasal yang sama, dan juga implikasi dari pasal 129 PP no.60/1999, harmonisasi sistem pengadaan dosen luar biasa akan terganggu. PTN akan memformat ulang bentuk kerjasama mengenai hal tersebut, mengingat tuntutan yang dihadapi PTN akan berubah. Konsekwensi dari hal itu, sebagain besar PTS, terutama PTS kecil akan mengalami kejutan yang amat sangat, malahan eksistensinya akan menjadi kabur.

Moral hazard
Konsekwensi yang paling logis dari pemberlakukan PP no.61/1999 bagi PTN, adalah berubahnya paradigma pengelolan program pendidikan. Perguruan tinggi diposisikan sebagai institusi yang harus bertindak efisien, efektif, dan produktif, khususnya dalam pengelolaan keuangan, lihat pasal 19 ayat (2). Hal ini perlu disikapi sebagai sesuatu yang wajar dan realistis. Malahan PTS, sebagai mitra sekaligus pesaing, melihat sebagai “berkurangnya salah satu keunggulan”  PTN. Walaupun ketentuan itu tidak akan menghapus posisi PTN sebagai “leader market” karena PTN masih memiliki keunggulan lain, misal, sejarah, dan academic culture yang lebih baik.
Kebijakan tersebut akan memiliki dampak negatif dan menciptakan moral hazard bila tidak diikuti oleh sistem pengendalian yang efektif. Dalam paradigma baru, seperti tersurat dan tersirat pada kedua PP-itu, masyarakat diposisikan sebagai pihak yang paling berkompeten melakukan quality control sebagai mana di atur dalam pasal 23 PP 61/1999. Namun perlu dipertanyakan kesanggupan itu dan perlu pembuktian lebih lanjut.
Kemungkinan moral hazard tersebut, adalah PTN akan melakukan berbagai diversifikasi program pendidikan dan meningkatkan daya tampung mahasiswa. Kebijakan tersebut secara substansial akan mengurangi bobot mutu proses dan mutu keluaran PTN. Dan di sisi lain akan menggangu pasar tradisional PTS, yang dalam jangka panjang juga akan berdampak kepada kemampuan dan mutu akademik PTS. Sebagai kasus hal itu telah terjadi, dan terbukti semua pihak dirugikan.
Tindakan yang kurang pantas tersebut dapat dieliminasi oleh berbagai ketentuan, baik ketentuan oleh pemerintah pusat maupun daerah, dengan mempertimbangkan kemanfaatan yang lebih luas bagi PTN dan PTS. Untuk kepentingan ini PTS harus memiliki bargaining position yang mantap dan APTISI penting peranannya untuk itu.
Mutu Akademik
Kekhawatiran terjadinya moral hazard sangat beralasan, bila dikaitkan dengan penyelenggaraan mutu akademik. Karena dalam PP no.61/1999 tidak jelas ukuran kinerja PT sebagai millieu akademik, dan lebih mencuat pemposisian PT sebagai institusi “bisnis”. Padahal insitusi bisnis yang paling konvensional sekalipun, dalam ketentuan perundang-undangannya, diatur standard ethics dan social responsibility yang dikaitkan dengan mutu produknya.
Pemberlakuan PP no. 61/1999 mengisyaratkan akan terjadinya persaingan terbuka bagi perguruan tinggi, PTS-PTN-PTA, dengan pendekatan mutu akademik sebagian besar PTS akan menjadi sub-ordinasi dalam konstelasi persaingan tersebut karena penguasaan sumberdaya. Namun itu bisa dihindari bilamana kurikulum, terutama yang berkaitan dengan pasal 13 (3), bisa lebih fleksibel. Sehingga PTS dapat memilih keunggulan dengan menggunakan pendekatan keuntungan komparasi (comparative advantage). Kurikulum nasional tak selayaknya lagi menjadi belenggu bagi perguruan tinggi, apalagi prinsip otonomi daerah telah disepakati bersama. Sehingga setiap daerah, dan juga perguruan tinggi, memiliki hak untuk menentukan keunggulan masing-masing.

Penutup     
Demikian pertimbangan kami setelah mengkaji kedua peraturan pemerintah tersebut. Disadari dan sangat dirasakan, kedua peraturan pemerintah ini di penuhi oleh nuansa pemberdayaan yang sangat dibutuhkan dalam menyongsong Indonesia baru. Akan tetapi, beberapa bagian perlu dilakukan elaborasi sehingga posisi PTS, sebagai salah satu aset sistem pendidikan, eksisitensinya lebih kuat dan secara signifikan dapat bertambah kemampuannya. Wassalam.