Pendahuluan
Catatan sejarah senantiasa mengingatkan kita, bahwa perguruan
tinggi selalu hadir dalam setiap fase perubahan signifikan dalam kehidupan
bangsa kita. Apakah itu fase kebangkitan tahun 20-an, fase perjuangan revousi
fisik di tahun 1945, fase kelahiran orde baru, maupun fase reformasi baru-baru
ini. Baru-baru inipun kampus telah memperkenalkan fenomena baru dalam wacana
perpolitikan nasional dengan menggelar debat terbuka beberapa capres. Terlepas
siap atau tidaknya seluruh komponen bangsa, termasuk beberapa elit politik,
dalam memasuki budaya baru itu namun terobosan ini diduga dapat memberikan
kontribusi berarti kepada pendidikan politik rakyat.
Pendidikan Demokratisasi
Perguruan tinggi secara normatif bertugas menyiapkan
sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan menguasai iptek dengan andal,
berwawasan kebangsaan yang yang kuat, sehingga secara institusional
memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Dan sebagai suatu komunitas
intelektual, perguruan tinggi memiliki karakristik dinamis yang bernuansa
pencerahan. Bersandar pada adagium “semua berubah kecuali perubahan itu
sendiri” memberikan inspirasi mendalam bagi sivitas akademika, bahwa perubahan
adalah sebuah keniscayaan sejarah yang menepis kemungkinan terciptanya
sebuah masyarakat statis, stagnan dan apatis. Maka beranjak dari pemikiran
itu, sangatlah wajar apabila perguruan tinggi berada di depan dalam dinamika
politik, termasuk secara proaktif menggulirkan wacana-wacana baru dalam
konstelasi sosial berbangsa.
Antitesa dari peran perguruan tinggi, adalah sebuah tirani
yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa dengan
menggunakan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya.
Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk
memulai sebuah perubahan. Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah,
menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen oleh perguruan tinggi.
Karena merekalah yang senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo
tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani yang dicita-citakan mempersyaratkan
beberapa hal crusial dengan kata kuncinya adalah pada demokratisasi. Dimana
demokratisasi membutuhkan antara lain, kesadaran berpribadi, kesetaraan,
kemandirian, inisiatif, dan partisipasi segenap komponen bangsa. Syarat-syarat
tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kecerdasan
dan kejujuran. Dalam konteks itulah pendidikan tinggi menjadi bagian strategis
dalam proses demokratisasi menuju masyarakat madani. Dan dalam konteks
itupula perguruan tinggi harus memposisikan diri dalam jarak yang sama
dengan kekuatan sosial politik yang ada. Dengan kata lain harus mempertahankan
netralitas dan secara proaktif menjadi penjaga etika dan sistem nilai yang
semestinya berlaku dalam kehidupan politik masyarakat berbudaya.
Dalam frame itulah, beberapa
perguruan tinggi memutuskan untuk terlibat dalam program pemantauan pemilu
di bawah koordinasi Forum Rektor. Pemilu yang jujur dan adil merupakan
proses vital untuk menuju masyarakat Indonesia baru. Sebuah tatanan masyarakat
dimana demokrasi menjadi bagian penting dari kultur politik bangsa, atmosfir
kesetaraan dan keadilan menjadi bagian dari pencerahan, serta perbedaan
pendapat menjadi instrumentasi sosial untuk mencapai kebenaran hakiki,
membutuhkan mekanisme pengambilan keputusan konstitusional yang bersih
dari manipulasi, dan tekanan.
Netralitas merupakan sikap institusi akan tetapi secara
individual, anggota sivitas akademika diberi keleluasaan untuk berkiprah
dalam kancah politik praktis dalam posisi sebagai partisian maupun non-partisan
tanpa mengabaikan tugas-tugas fungsionalnya. Kebijaksanaan itu merupakan
refleksi dari penghormatan terhadap konsep demokrasi, yang secara umum
diperjuangkan, dan pengakuan terhadap hak-hak individu dalam kehidupan
sosial. Selain itu pula, institusi memiliki kemungkinan memperoleh umpan
balik empirik sebagai penopang sikap netarlitasnya itu. Akan tetapi untuk
mengurangi ekses-ekses masih perlu rambu-rambu sehingga sikap netralitas,
dan non-partisan, yang diambil lembaga tidak menjadi bias.
Pemisahan sikap lembaga dan sikap individu, anggota sivitas
akademika, perlu diperjelas karena selama ini netralitas disikapi secara
beragam, dan cenderung diartiakan sebagai “pembersihan” yang memiliki konotasi
penggiringan sikap apolitis. Padahal pemikiran itu jelas-jelas melanggar
peran-peran normatif perguruan tinggi sebagai center of exchalange dan
secara sistimatis malahan membentuk perguruan tinggi sebagai menara gading.
Hal yang terakhir itu justru malahan kontra produktif dalam pembentukan
masyarakat ilmiah yang perduli lingkungan.
Penutup
Pemikiran progresif fungsional selayaknya menjadi pegangan
bagi PT khsusunya di kota Bandung, karena dari kota tercinta inilah banyak
sudah perubahan-perubahan dilakukan khususnya oleh para mahasiswanya. Perjuangan
mahasiswa sejauh ini telah efektif, akan tetapi sementara pihak berpendapat,
usaha-usaha yang dilakukan cenderung kurang sistimatis. Adalah tugas anggota
sivitas akademika yang lain, untuk membantu agar perjuangan mahasiswa selain
memiliki nilai efektip juga dapat berjalan secara sistimatis. Semoga.