Pendahuluan
Tertarik oleh head line pada salah satu buletin
terbitan mahasiswa yang menyorot masalah kualitas dosen. Sungguh saya tidak
berpretensi untuk menjustufikasi komentar minor itu untuk kepentingan yang
tidak perlu. Namun saya berfikir, walau lontaran itu bernada apriori dan
cenderung timbul gejala "contadictio internemis" dalam penggunaan
konsep kualitas; namun tersimak dengan adanya kecerdasan dan kepedulian
dalam menangkap fenomena yang terjadi di lingkungannya. Tentu saja untuk
yang terakhir itu perlu dicermati dan disikapi secara konstruktif dan secara
proaktif mencari jalan keluar yang terbaik. Tulisan ini mencoba merefleksi,
mudah-mudahan bermanfaat untuk jalan keluar masalah tersebut.
Total Quality Management (TQM), adalah konsep perduli mutu, yang sudah lama diterapkan di dunia industri, dikonstantir dapat mengatasi permasalahan kontemporer yang timbul pada kehidupan dunia pendidikan saat ini. Dengan penekanan pada kepuasan pelanggan melalui optimalisasi proses-proses dan aspek-aspek manajemen. Sumber Daya Manusia Dosen (SDMD), memiliki posisi yang vital dalam membentuk image mutu lulusan maupun mutu lembaga secara umum. Posisi itu diperkuat dengan fakta bahwa, dosen memiliki otoritas tinggi dalam proses akademik, dan malahan lebih tinggi dari profesi serupa di lembaga pendidikan di bawahnya.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) memiliki karakteristik yang sedikit berbeda, khususnya dalam pengadaan dan pengelolaan aspek dana, dibanding dengan PTN; ini berimplikasi luas pada optimalisasi aspek lain, yaitu: aspek sumber daya manusia maupun aspek perangkat dan aspek proses. Sehingga upaya perbaikan mutu harus sejauh mungkin direncanakan berdasarkan skala prioritas. Maka sehubungan dengan itu memikirkan upaya optimalisasi variabel vital dengan strategi yang tepat, dengan mempertimbangkan konsep normatif maupun konsep teknis, adalah langkah penting untuk pengayaan mutu manajemen pendidikan tinggi.
Pengembangan (development) tampaknya menjadi kebutuhan nyata bagi usaha perbaikan kinerja SDMD melalui proses sistematis konsep pengembangan maka produktivitas dapat diharapkan penting katanya.
Faktor SDMD dalam Manajemen Pendidikan Tinggi
Harapan masyarakat, perguruan tinggi harus sudah berjalan berdasarkan pada market-oriented, mengingat iklim kompetisi semakin menghangat di era globalisasi. Pada kedua tahapan itu perguruan tinggi harus memfokuskan manajerial organisasinya pada kepuasan pelanggan, yang terdiri masyarakat pengguna (user), masyarakat intelektual, dan masyarakat peminat pendidikan (calon mahasiswa). Oleh sebab itu keluwesan dan keleluasaan sistem kerja, budaya dan struktur perguruan tinggi perlu dievaluasi dan diperbaiki.
Konsekwensi dari pada itu perlu ada koreksi terhadap dimensi aturan yang mengikat perguruan tinggi, kecuali menyangkut standar mutu minimal yang perlu dirumuskan secara bersama-sama. Model Total Quality Management yang mengedepankan aspek kualitas dan aspek pelayanan perlu diintrodusir bagi setiap perguruan tinggi melalui upaya optimasi kualitas manajemen aspek proses dan sumber daya manusia serta dana.
Pendidikan tinggi swasta, selaras dengan karakteristik dan fungsi, dalam beberapa waktu terakhir ini telah mentasdikan diri sebagai usaha jasa pendidikan. Sebagai usaha jasa, pendidikan tinggi mempunyai kelompok pelanggan yang harus dilayani dengan pelayanan jasa yang bermutu. Perhatian terhadap mutu harus tergambar dalam tiga wilayah utama (three main areas) pendidikan, yakni: pengajaran (teaching), penelitian (research), dan pendidikan berkelanjutan (continuing education).
Terdapat dua faktor lainnya, selain faktor kualitas, yang
perlu mendapat sorotan dalam model TQM pada ketiga wilayah utama pendidikan
tersebut yakni, faktor proses dan faktor sumber daya manusia. Faktor proses
berkaitan dengan perancangan proses, sistem (termasuk teknologi informasi),
budaya kerja struktur, sistem pengendalian, proses penyusunan perencanaan,
penganggaran dan produktivitas. Sedang faktor sumber daya manusia mencakup
permasalahan yang memuat dimensi sosial dan psikologi, interaksi dan interelasi,
motivasi, keterampilan, gaya, penghargaan dan imbalan. Pola keterkaitan
di antara ketiganya dalam tatanan manajemen pendidikan tinggi seperti digambarkan
sebagai berikut:
TINDAKAN
TARGET
|
MISI PERGURUAN TINGGI
KUALITAS SDM PROSES
UTILITAS |
Sumber: Wahjoetoemo, 1996
Pengembangan ke Peningkatan Produktivitas
Pengembangan SDM memiliki dua konsep. Pertama, adalah konsep normatif dan kedua, konsep teknis. Konsep normatif berkenaan dengan fungsi-fungsi dasar yang harus ada dalam kehidupan manusia dan menjadi patokan ideal untuk pelaksanaan konsep yang lebih implementatif (konsep teknis). Sedang konsep yang kedua, konsep teknis, adalah berkaitan dengan implementasi konsep pertama yang bersifat conditioning dan kasuistis. Kedua konsep itu selanjutnya mendasari pendekatan kajian pengembangan SDM pada praktek manajemen perguruan tinggi dalam tulisan ini.
Manajemen pendidikan memasukan pengem-bangan (development) sebagai salah satu fungsi dalam manajemen SDM, adapun fungsi yang lain, adalah: planning, recruetment, selection, induction, appraisal, conpetation, continuity, security, bargaining, information (Castetter, 1981, 51). Tujuan dari pengembangan, adalah meningkatnya kinerja (performance) guna tercapainya efisiensi, efektivitas dan pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas. Hal itu selaran dengan pendapat yang dikemukakan Castetter (1981:272) dan Curtis R. Finch (1982:136).
Adapun kinerja, yang menjadi tujuan "pengembangan", diartikan
secara luas oleh Borg (1979:608) sebagai, "The actual program is put
into operation", merupakan variabel dependent yang signifikan mempengaruhi
baik secara parsial maupun serempak. Adapun kinerja pada dasarnya terbentuk
dari kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Diolah
dari pendapat Sutermeister (1976:11) pembentukan kinerja dapat digambarkan
seperti berikut ini:
Dengan demikian "pengembangan"
dalam konteks tulisan ini adalah, "Upaya sistematis untuk memberdayakan
komponen SDM perguruan tinggi melalui tindakan optimal terhadap faktor-faktor
pembentuk produktivitas kinerja individu maupun kelompok". Hal di atas
selaras dengan pendapat Castetter (1982:275), yang menyatakan, pengembangan
harus dipandang sebagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan perseorangan
agar lebih bertanggungjawab dalam sistem.
K I N E R J A |
Kemampuan
Kemauan
|
Keterampilan
Pengetahuan
Pemenuhan Kebutuhan
Kondisi Kerja
|
Kecakapan , Kepribadian
Diklat, Pengalaman, Minat
needs of: achivement, power, affiliation
Struktur Organisasi, Dinamika Kelompok, Kepemim- pinan, Budaya Organisasi |
Efisiensi, efektivitas dan produktivitas merupakan konsep yang berlainan, walaupun ketiganya memasukan unsur input dan output dalam mekanisme teknis penganalisasiannya. Secara sederhana ketiganya dapat dibedakan, efisiensi berorientasi pada input, dan efektivitas berorientasi pada output, sedang produktivitas berorientasi pada keduanya. Dengan demikian dapat dikatakan produktivitas memiliki makna yang lebih luas dibanding dua konsep yang lainnya. Dalam mengukur produktivitas dapat dilakukan dengan dua cara, (a) pendekatan produktivitas total atau faktor ganda, yakni output dihadapkan dengan keseluruhan input yang dipakai, (b) pendekatan parsial atau faktor tunggal, yakni output dihadapkan dengan satu input saja, misal, input SDMD dalam konteks manajemen perguruan tinggi.
Seperti dikemukakan terdahulu, dosen memiliki posisi strategis dalam menentukan mutu lulusan maupun mutu kelembagaan secara umum. Dosen, beda halnya dengan tenaga kependidikan pada lembaga pendidikan dasar dan menengah, memiliki kewenangan atau otoritas yang lebih dominan dalam proses "mengolah" peserta didik. Hampir tidak ada pengendalian yang cukup berarti dalammekanisme kelembagan untuk menditeksi atau mengkritisi "performa" dosen dalam proses pembelajaran, maka sehubungan dengan itu berlaku adagium, "demikian mutu dosen, demikian pula mutu lulusan".
Dosen juga menjadi parameter penting dalam proses pengendalian kelembagaan pendidikan tinggi, khususnya di PTS. Jenjang kepangkatan dan pendidikan dosen dijadikan pedoman pokok, disamping rasio kelulusan, dalam mekanisme akreditasi. Dengan demikian memikirkan upaya pengembangan mutu dosen harus menjadi obsesi setiap pengelola pendidikan tinggi.
Walau ukuran mutu itu bersifat relatif, akan tetapi pada dasarnya mutu tenaga pengajar di perguruan tinggi dapat dilihat dari produktivitas pelaksanaantri darma, yakni: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Secara normatif ketiga hal itu pada umumnya dapat dilihat dalam: (a) jenjang pendidikan, dan (b) jabatan fungsional. Untuk melihat kedua hal itu ada baiknya kita teropong bagaimana kondisi objektif sumber daya dosen ini.
Contoh kasus, suatu universitas dengan memiliki 10 orang dosen tiap jurusan, dilihat dari sisi kuantum jumlah dosen tetap, sudah "cukup" untuk menjalankan kegiatan akademik. Hal ini dapat dielaborasi, dengan asumsi setiap dosen membina mata kuliah sebanyak 8 SKS., 4 SKS. lainnya untuk bidang lainnya, atau 3 mata dalam satu semester maka dalam satu tahun setiap dosen memiliki tugas mengajar 16 SKS atau 6 mata kuliah. Dengan jumlah rerata setiap jurusan memiliki beban studi 160 SKS atau 60 matakuliah. Maka yang dibutuhkan oleh setiap jurusan hanya 10 orang dosen saja. Dengan catatan proses rekruetmennya benar dan dosen yang ada terdistribusi secara baik.
Jumlah itu semakin longgar lagi, bila diperhitungkan, dosen tetap hanya mendukung kurikulum inti yaitu 60% dari 160 sks = 96 sks. Sedangkan muatan lokal sebanyak 40% dapat diserahkan kepada dosen luar biasa sebagai "tenaga praktisi" yang menjembatani mahasiswa dengan dunia kerja.
Untuk menjustifikasi kesimpulan di atas perlu didukung oleh seperangkat aturan yang mengarah pada deregulasi pengelolaan pendidikan tinggi, disamping kaji ulang terhadap ketentuan-ketentuan yang justru tidak akomodatif terhadap sistem akademik yang berlaku, misal penetapan "rasio" Mahasiswa dengan Dosen. Angka 10 itu kemungkinan belum final, karena hal yang penting, adalah dosen-dosen itu memiliki "kewenangan akademik" baik dilihat dari jenjang pendidikan maupun jabatan fungsional. Sehingga seluruh dosen yang ada dapat berfungsi secara optimal. Kewenangan profesi ditentukan oleh kedua oleh parameter mutu dosen tersebut, walau dalam praktek keadaan tersebut dapat diatasi dengan kehadiran dosen luar biasa, namun masalah ini perlu disikapi secara serius. Apalagi belum seluruh dosen luar biasa, juga memiliki kompetensi yang memadai, baik dilihat dari jenjang pendidikan, jabatan fungsional maupun kemampuan profesional.
Dari kondisi seperti itulah maka konsep "pengembangan" menjadi lebih relevan untuk dibicarakan. Konsep pengembangan melihat aspek kualitatif lebih penting ketimbang aspek kuantitatif. Dengan demikian permasalahan pengembangan dosen adalah terletak pada upaya pemberdayaan komponen dosen sehingga memiliki kontribusi optimal terhadap penciptaan mutu proses dan hasil akademik.
a. Bentuk Pengembangan
Pada dasarnya program "pengembangan" didasari oleh prinsip terpenuhinya dua (2) harapan pokok, yakni: (a) meningkatnya kontribusi individu selaras dengan harapan manajemen universitas, (b) terpenuhinya kebutuhan dosen, kerja dan individual, dari manajemen universitas. Jalinan simbiose conditio sine quanon dalam setiap upaya pengembangan.
Pengembangan dalam kaitan itu dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa sub pengembangan, yaitu:
(knowledge,
performance, and consequence)
Dari gambaran kompetensi di atas, tergambar bahwa dosen adalah profesi dengan menggambarkan pada dua kemampuan dasar, yakni: (a) kemampuan keilmuan, (b) kemampuan untuk mentransfer ilmu atau kependidikan. Dalam kapasitas sebagai ilmuwan, pengembangan karir cukup jelas yakni melalui program-program pasca sarjana bidang studi. Sedang mengembangkan diri dalam kapasitas sebagai pendidik dirasakan sangat kurang, setelah program akta V ditiadakan. Dosen yang ada saat ini kecuali di IKIP atau FKIP, tidak pernah disiapkan secara sistematis menjadi pendidik. Sementara program pengembangan secara sistimatis belum dapat dilaksanakan secara melembaga untuk PTS. Sehingga akibatnya mudah diduga kinerja dosen menjadi sangat rentan manakala harus berhadapan dengan fenomena "kelas" yang dinamis.
Setiap PTS dituntut ber-improvisasi untuk mengatasi hal tersebut, akan tetapi masalahnya, tidak semua PTS memiliki kemampuan yang sama dalam melaksanakan usaha-usaha pengembangan seperti yang dikemukakan di atas. Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam mencapai hasil pengembangan yang optimal, diantaranya adalah :
Kedua, pengembangan disiplin kerja, diarahkan pada konsistensi individu dalam memahami, menghayati, melaksanakan, dan memasyarakatkan ketentuan berprilaku dalam sistem kelembagaan. Pensosialisasian berbagai ketentuan dan aturan mengenai disiplin harus dilakukan. Ketentuan yang tidak diketahui sering menyebabkan pelanggaran atas disiplin kerja dosen. Misal, beban tugas dalam bentuk satuan kredit semester (SKS) dalam prakteknya belum banyak dipahami baiok oleh pimpinan maupun dosen. Sering dipertanyakan, bila tidak datang ke kampus karena mengadakan bimbingan skripsi di rumah, apakah termasuk pelanggaran disiplin ? ataumembimbing skripsi haruskah selalu di kampus ?, bila ya, adalah fasilitas yang memadai untuk terjadinya interaksi yang baik dalam proses bimbingan itu. Dalam prakteknya sebagai PTS belum mampu memberikan fasilitas yang memadai untuk kegiatan perkuliahan sekalipun, apalagiuntuk kegiatan diluar itu, walau masih dalamkerangka kegiatan akademis.
Ketiga, pengembangan semangat kerja, memiliki karakteristik yang berlainan dengan pengembangan disiplin kerja. Semangat kerja berkaitan dengan ketulusan hati harena adanya kepuasan kerja sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan dasar dari pekerjaan yang dilakukan. Kehadiran, kelambanan, antusisme, kerjasama merupakan indikator-indikator penting untuk mengukur semangat kerja.
Semangat kerja sangat ditentukan oleh adanya harapan masa depan, sementara keberlangsungan PTS masih sulit dibayangkan. Kakhawatiran itu ditunjukan oleh hal-hal diantaranya: (a) Maraknya PTS saat ini lebih banyak disebabkan akibat langsung dari "baby boom" di tahun 70-an, (b) banyak lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah yang ditutup belakangan ini, sebagai ciri berakhirnya "baby boom" di tahun 80-an, (c) Munculnya PTS-PTS baru sebagai pesaing, malah belakangan ini munculnya pesaing dari pemodal kuat, (d) Membengkaknya jumlah pengangguran terdidik akan mengakibatkan turunnya wibawa PT. Hal-hal di atas sering menyebabkan para dosen untuk mencari kemungkinan lain berupa penetapan profesi lain sebagai sampingan, dan tentu saja hal ini sangat berpengaruh terhadap konsentrasi dan etos kerja.
Keempat, pengembangan karir dan kesejahteraan, pengembangan ini sangat dibutuhkan dalam mendukung usaha-usaha pengembangan sebelumnya. Pengembangan ini memiliki fungsi pemeliharaan atas upaya-upaya yang dilakukan dalam pengembangan-pengembangan sebelumnya. Harus diakui penghargaan berupa kesejahteraan untuk profesi pengajar umumnya, khususnya dosen, masih belum menggembirakan. Sebagi perbandingan, Upah Minimum Regional (UMR) daerah Bandung kurang lebih Rp 5.000,00 per hari, dengan demikian lulusan SD dengan masa kerja nol tahun akan memperoleh penghasilan Rp 150.000,00 per bulan. Sementara seorang sarjana yang memilih profesi dosen dengan golongan kepangkatan IIIa, hanya memperoleh penghasilan kurang dari Rp 120.000,00 per bulan. Hidup di kota Bandung denga penghasilan itu sangat sulit menyisihkan sebagian penghasilan untuk membeli buku baru atau mungkin untuk mendatangi perpustakaan sekalipun.
Pengembangan karier dosen dapat dilakukan melalui jalur pendidikan lewat pasca sarjana atau kenaikan jabatan fungsional. Dosen PTS sedikit kurang beruntung dibanding dosen di PTN. Dosen PTN untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana, ataupun untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat dalam rangka peraihan angka kumulatif guna syarat kenaikan pangkat, disediakan dana lewat anggaran perguruan tinggi dari APBN atau pinjaman luar negeri. Sedang dosen PTS tidak semua memiliki kesempatan untuk itu, sedang mereka pun dituntut untuk melakukan hal yang serupa dengan dosen PTN bila ingin mengembangkan kariernya. Artinya dosen PTS harus menguras koceknya sendiri atau mencari sumber dana yang lain, manakala anggaran PTS belum memadai untuk kebutuhan itu. Untuk kepentingan ini tampaknya pihak yayasan dapat berperan lebih proaktif lagi dalam menjaring sumber dana dari luar.
Keberhasilan pengembangan SDMD sangat tergantung sinergi dari unit yang ada dalam struktur internal PTS, yang terakomodasi dalam suatu tatanan kendali sistem manajemen yang ter-sentralize dimana setiap unit memiliki komitmen yang kuat untuk mendukungnya. Kemudian peran yayasan perlu ditempatkan dalam posisi yang lebih profesional sebagai badan penyelenggara pendidikan dengan berbagai konsekwensinya. Selain itu sudah saatnya ekspansi eksternal dikurangi dengan penyederhanaan aturan atau dilaksanakan deregulasi dalam pengelolaanpendidikan tinggi, hal ini menyebabkan PTS menjadi lebih adaptif dengan lingkungan dan tantangan yang dihadapi.
Kesimpulan
Pengembangan kinerja
dosen, dalam berbagai bentuk, harus selalu diupayakan. Hal itu mengingat
penting dalam usaha peraihan produktivitas dosen yang lebih baik. Pengembangan
dosen dapat difokuskan dalam lima bnetuk pengembangan. Namundalam setiap
implementasi bentuk pengembangan di PTS membutuhkan pemikiran yang lebih
terintegrasi antara pertimbangan sosiologis, psikologis dan financing,
hal ini disebabkan terdapatnya masalah-masalah struktural dalam PTS yang
bersifat spesifik.
Kajian-kajian yang lebih bersifat kasuistis yang terjadi di Unpas dalam hal perbaikan kinerja dosen perlu dilakukan dalam forum yang lebih relevan dan dengan teknis kajian yang lebih holistik.
Daftar Pustaka
Unmer Malang, Kumpulan
makalah Hasil Seminar Nasional "Mutu PTS menjelang
Era Globalisasi",
1996.
Unmer Malang, Laporan Hasil Seminar "Menuju Manajemen PTS yang Efisien",1995.
Wahjoetomo, "Manajemen Perguruan Tinggi", Malang, 1996.
Lemlit Unpas, "Kinerja Dosen PTS", makalah dalam simposium Nasional
Kependidikan, Jogjakarta, 1996.