PENDIDIKAN, PENGANGGURAN DAN
PENGANGGURAN TERDIDIK

A. Pendahuluan
Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Membidik masalah yang terakhir, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti ketiga masalah lainnya, memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.

Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah teraihnya lapangan kerja yang diaharpkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal.

Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan sehingga berpotensi untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.

Sementara dampak sosial dari jenis pengangguran ini relatif lebih besar. Kelompok ini memiliki "daya gerak" yang cukup besar untuk menciptakan dinamika dalam masyarakat. Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional.

Tulisan ini mencoba memperjelas permasalahan yang ada pada jenis pengangguran ini dan alternatif pemecahan macam apa yang harus dilakukan guna mengatasi masalah pengangguran terdidik ini, dilihat dari perspektif pendidikan. Khususnya dalam konstelasi penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK).

B. Pengangguran Terdidik
Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Krisis ekonomi yang kini dihadapi ternyata telah memporakporandakan tatanan kehidupan bangsa. Indikasi kerusakan itu terlihat pada jumlah penduduk miskin dan pengangguran yang membengkak dalam waktu yang relatif singkat. data Bappenas menunjukkan pada tahun 1998 penduduk miskin telah mencapai 80 juta orang, yang berarti mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 22,4 juta orang saja. Selanjutnya data BPS pun mencatat angka pengangguran pada tahun 1999 sebesar 6,37 juta orang. Yang kemudian di akhir 1999, jumlah pengangguran semakin membengkak, yakni mencapai 14 juta orang dan tenaga kerja setangah menganggur mencapai 35 juta orang.

Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.

Salah satu bentuk pengangguran yang populer dewasa ini adalah pengangguran terdidik. Kekurangselarasan antara perencanaan pembangunan pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja merupakan penyebab utama terjadinya jenis pengangguran ini. Pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan (1) timbulnya masalah-masalah sosial dengan tingkat rawan yang lebih tinggi. (2) menciptakan pemborosan sumber daya pendidikan. (3) menurunkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.

Apresiasi ini sebenarnya harus menjadi "Conditio sine Quanon" untuk pembangunan SDM. Sulit dibayangkan SDM berkualitas akan tercapai bila tidak disertai oleh meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pendidikan. Dan akan sangat muskil APK meningkat, bila tidak disertai oleh apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan.

Tabel 1

Perkembangan APK Perguruan Tinggi

PERIODE
TAHUN
MAHASISWA
PENDUDUK

19 - 24 Age

APK (%)
Seb.Repelita

Repelita I

Repelita II

Repelita III

Repelita IV

Repelita V

1968

1973

1978

1983

1988

1992

156.500

231.000

342.166

823.925

1.356.756

1.795.500

9.705.000

11.962.000

14.747.000

15.667.600

19.464.700

21.288.100

1.61

1.93

2.32

5.26

6.97

8.43

Sumber : Pusat Informatika, Balitbang Dikbud

Menurunnya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan itu di , ditandai oleh: (a) berkurangnya jumlah siswa (di samping akibat keberhasilan KB), (b) meningkatnya jumlah tenaga kerja (TK) unskill and uneducated dalam sektor sekunder, (c) rendahnya angka melanjutnya pendidikan (di Jawa Barat hanya 57% lulusan SD meneruskan ke SMP), (d) meningkatnya jumlah pengguna jasa pendidikan luar negeri.

Pengangguran terdidik terjadi antara lain sebagai akibat dari lemahnya perencanaan pendidikan. Di samping sebagai akibat langsung dinamika ekonomi masyarakat dan krisis ekonomi yang dihadapi. Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapanga kerja. Sehingga gap ini menciptakan barisan pengangguran yang semakin panjang di kalangan kelompok terdidik. Dan barisan ini dari tahun ketahun semakin panjang, apalagi diperparah oleh menurunnnya kinerja ekonomi sebagai akibat dari krisis.

C. Masalah Supply dan Demand
Secara empiris yelah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.

Hal-hal tersebut dapat dilihat dari berbagai friksi, antara lain, friksi tingkat pendidikan, friksi komptensi, dan friksi substansi.

Pertama, friksi tingkat pendidikan ditandai oleh kekurangsesuaian antara kebutuhan, terhadap lulusan suatu tingkat pendidikan tertentu, dengan persediaannya. Friksi ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam bursa kerja dan menyebabkan menumpuknya lulusan program pendidikan pada tingkat tertentu, namun justru kekurangan pada segmen yang lainnya. Mengenai hal itu dapat dilihat pada tabel 2, dimana kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tamat SD, tamat SLTP, dan tamat SLKTP sejauh ini masih mengalami kekurangan. Khusus untuk SLKTP, kenyataan itu sangat ironis, mengingat hampir dua dasa warsa terakhir lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan dengan kualifikasi ini, SMEP, ST, SKKP dan sejenisnya, malah telah ditutup.

Tabel 2
Analisis Keseimbangan antara Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga Kerja menurut Tingkat Pendidikan Sampai Pelita VI


 
NO
TINGKAT PENDIDIKAN
KEBUTUHAN (000)
%
PERSEDIAAN (000)
%
KESEIMBANGAN(000)
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Tidak sekolah

Tid. tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SLKTP

Tamat SMU

Tamat SMK

Tamat PT (S0)

Tamat PT (S1)

-3.900.1

954.7

8.429.5

2.164.1

382.7

1.411.9

1.551.0

343.7

173.2

-33.9

8.3

73.2

18.8

3.3

12.3

13.5

3.0

1.5

0.0

1.817.2

2.530.2

2.104.0

153.4

2.191.0

2.041.8

393.3

630.6

0.0

15.3

21.3

17.7

1.3

18.5

17.2

3.3

5.3

*)

862.5

-5.899.3

-60.1

-229.3

779.1

490.8

49.6

457.4 

 
Jumlah
11.510.7
100
11.861.5
100
350.8

Sumber: Bappenas, Depdikbud, Depnaker, dan BPS, 1993

Sementara pada tingkat pendidikan di atasnya, jumlah permitaan dengan persediaan yang ada, cenderung jumlah persediaan lebih tinggi dibanding kebutuhan. Sebenarnya bisa dilakukan menurunan kualifikasi untuk kepentingan penyerapan kesempatan kerja, namun justru disitulah eksistensi pendidikan terganggu dalam persepsi masyarakat.

Kenyataan tersebut sama sekali tidak menapik keberhasilan pembangunan pendidikan, sehingga tingkat pendidikan masyarakat lebih meningkat. Namun, masalahnya terletak pada perencanaan pendidikan yang tidak melihat pendidikan sebagai wacana yang dipenuhi oleh disparitas, baik pada tataran input, proses, maupun output.

Kedua, friksi komptensi sebagai akibat lemahnya perencanaan penetapan bidang keilmuan. Polarisasi yang tajam antara program pendidikan eksak dan non-eksak menyebabkan lulusan dengan kompetensi tertentu lebih banyak menganggur ketimbang pada program kompetensi lainnya. Penjurusan yang kaku serta sikap arogansi keilmuan telah membawa lulusan suatu lembaga pendidikan terpojok pada satu sisi yang "gelap" tanpa memiliki pilihan yang lain.

Angkatan kerja dengan kualifikasi kompetensi pada ilmu-ilmu sosial dan juga ilmu kependidikan ternyata telah berlebih dan memberikan kontribusi yang bermakna pada penciptaan angka pengangguran. Sarjana ilmu-ilmu sosial memberikan kontribusi di atas 50% terhadap angka pengguran, dan sarjana pendidikan memberikan kontribusi sebanyak 15%, pada akhir Pelita V.

Tabel 3
Distribusi Pengangguran Terdidik (Lulusan S1)
berdasarkan Bidang Keilmuan Sampai Pelita V


 
 
BIDANG
1983
1984
1985
1986
No
KEILMUAN
JML
%
JML
%
JML
%
JML
%
1

2

3

4

5

6

7

Ilmu Pasti-Alam

Teknologi

Ilmu Pertanian

Ilmu Kesehatan

Ilmu-Ilmu Sosial

Ilmu Kependidikan

Lainnya

159

416

1.055

430

3.050

1.257

196

2.42

6.34

16.07

6.55

46.47

19.15

2.99

166

784

859

356

10.727

860

1.393

0.77

5.18

5.92

2.35

70.89

5.68

9.21

169

507

1.818

316

8.868

3.175

1.355

1.04

3.13

11.22

1.95

54.71

19.59

8.36

277

1.211

1.706

414

10.054

2.664

1.004

1.60

6.99

9.84

2.39

58.02

15.57

5.79

Sumber : Analisis Pasar Kerja, Departemen Tenaga Kerja, 1987

Dengan demikian sudah saatnya jurusan atau program studi yang berada di rumupun itu dikurangi. Dan sumberdaya pendidikannnya disalurkan pada jurusan atau program studi lain yang masih belum jenuh. Perubahan IKIP menjadi universitas merupakan langkah yang tepat dalam konteks ini, namun dalam prakteknya masih dihadapi kebingungan karena konflik kepentingan dalam manajemen IKIP itu sendiri.

Ketiga, friksi substansi berawal dari validitas dan realibilitas kurikulum -contents- terhadap tujuan pembelajaran. Sejauh ini terdapat gejala contardicio internemis antara kurikulum dengan nama lembaga yang disandangya. Hal ini tidak semata kesalahan perangkat yang ada pada sistem pendidikan, namun bisa juga sebagai akibat intervensi kepentingan di luar pendidikan -misal, politik- dalam pendidikan.

Tabel 4 membuktikan adanya distorsi antara substansi tujuan pembelajaran dengan pencapainnya. Sekolah menengah kejuruan -SMEA atau STM- pada dasarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sedang SMU diarahkan untuk meneruskan ke jenjang lebih tinggi. Namun pada pada tabel 3 terlihat bahwa lulusan sekolah kejuruan lebih relatif lama menganggur ketimbang lulusan SMU.

Hal ini tidak semata kesalahan perangkat sistem pendidikan, namun juga kemungkinan adanya distorsi lain dalam sistem sosial kita. Akan tetapi kenyataan tersebut memberikan indikasi bahwa kinerja lulusan SMK dengan SMU tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sehingga lapangan kerja yang semestinya secara substansial hanya bisa diisi oleh lulusan SMK ternyata juga bisa diisi oleh lulusan SMU.

Tabel 4
Persentase Lamanya Menganggur bagi Lulusan Jenis Pendidikan
yang Berbeda di Pendidikan Menengah
Jenis Sekolah
Lang-sung
0-3 Bulan
4-6 Bulan
7-9 Bulan
10-12 Bulan
13-15 Bulan
16-18 Bulan
> 18 Bulan
Jumlah Kasus
SMA

Negeri

Swasta

SMEA

Negeri

Swasta

STM

Negeri

Swasta

Total

Negeri

Swasta

3,1

4,6
 
 

2,6

3,7
 
 

3,1

3,5
 
 

11,8

11,8

6,1

7,6
 
 

12,9

12,8
 
 

12,7

12,4
 
 

11,8

11,8

7,6

6,9
 
 

10,0

11,3
 
 

8,9

10,5
 
 

9,1

10,4

15,3

14,5
 
 

11,7

12,8
 
 

10,0

8,7
 
 

11,8

11,2

17,6

13,7
 
 

13,8

11,8
 
 

14,7

11,0
 
 

14,7

11,7

20,6

12,2
 
 

16,0

16,0
 
 

16,2

19,2
 
 

16,9

16,9

9,9

15,3
 
 

12,6

10,2
 
 

14,3

16,6
 
 

12,7

13,8

19,8

25,2
 
 

20,3

21,5
 
 

20,1

18,0
 
 

20,2

20,4

131

131
 
 

349

382
 
 

259

427
 
 

739

940

Sumber : Analisis Pasar Kerja, Departemen Tenaga Kerja, 1987

D. Investasi Pendidikan
Investasi, pelayanan, pendapatan masyarakat, dan penghargaan terhadap lulusan telah menjadi simpul-simpul dalam rentang masalah mutu lulusan program pendidikan. Penghasilan masyarakat yang rendah tidak mempu menciptakan investasi yang besar dalam pendidikan, keadaan itu menyebabkan rendahnya pelayanan pendidikan sekaligus berkorelasi dengan kinerja lulusan dan rendahnya penghargaan terhadap lulusan. Dan pada akhirnya menyebabkan rendah pula penghasilan dan kepercayaan diri tenaga kerja terdidik.

Meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat pada tahun 1995 sebesar 925 $ /perkapita/tahun dan akhir Pelita VI di atas 1000 $, namun kemudian terpuruk sampai 600 $ akibat krisis, menyebabkan melemahnya tabungan dan investasi masyarakat khususnya untuk pendidikan. Semenetara alokasi untuk sektor pendidikan dalam APBN juga masih relatip kecil. Dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura bahkan dengan Filipina alokasi anggaran kita yang masih di bawah 10% jelas sangat kecil, Indonesia 8%, sementara negara ASEAN lainnya 25%. Lemahnya investasi pendidikan akan berakibat terhadap mutu proses dan mutu lulusan.

Sementara akibat dari pembangunan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Bila kebutuhan ini tidak diimbangi dengan perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri, masyarakat berpenghasilan tinggi akan berpaling lebih dalam lagi pada pelayanan jasa pendidikan di luar negeri. Keadaan ini jelas akan merugikan ekonomi negara dan khususnya akan lebih melemahkan investasi pendidikan.

Rendahnya investasi pendidikan telah memposisikan kegiatan pendidikan sebagai mesin penghasil manusia "berijazah" namun miskin kompentensi. Lulusan lembaga pendidikan menjadi produk massa, dan program pendidikan lebih diarahkan sebagai program populis ketimbang sebagai program sistimatis untuk meningkatkan mutu SDM. Hal ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan pendekatan kualitas dan kuantitas dalam kebijakan pendidikan kita.

E. Alternatif Pemecahan
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan pengangguran terdidik bermula dari permasalahan mikro, yakni kebijakan manajemen pembelajaran, dan dapat bermula dari permasalahan makro, yakni kebijakan pendidikan secara nasional. Dalam konteks itu, maka opsi pemecahan masalah harus dimulai dari kedua pendekatan itu. Atau setidak-tidaknya, opsi pemecahan masalah seyogyanya bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan kedua hal tu secara berimbang. Sehingga dalam action plan yang dibuat, juga seyogyanya, mempertimbangkan sinergitas berbagai komponen yang langsung maupun tidak langsung berkait dengan masalah tersebut.

Untuk kepentingan itu, maka disarankan berbagai pemikiran untuk pemecahan masalah pengangguran terdidik antara lain sebagai berikut:

Pertama, melaksanakan reorentasi lembaga pendidikan, reorentasi itu menyangkut, (1) reorentasi pendekatan, (2) reorentasi program, dan (3) reorentasi kelembagaan.

1. Reorentasi pendekatan, khususnya dalam memodifikasi pendekatan dari kuantitatif menjadi kuantitatif-kualitatif. Dalam arti pendekatan pemerataan harus diimbangi secara proporsional dengan perhatian terhadap mutu proses dan hasil pendidikan. Dengan demikian, secara bertahap mutu lulusan dapat lebih diterima dunia kerja dan secara absolut mampu mengimbangi laju dinamika dunia kerja.

Konsekwensi dari pada itu, pendidikan harus dilihat sebagai upaya rasional. Dalam arti lain pendidikan harus dilihat sebagai proses investasi bukan lagi proses konsumtif. Sehingga pesan-pesan dan kepentingan yang berada di luar kepentingan pendidikan harus mulai dihapus. Dan campur tangan, dari pihak manapun, yang kurang proporsional dengan upaya peningkatan kualitas program pendidikan sebaiknya dihindari.

Guru harus dihargai sebagai perkerjaan profesional yang memiliki hak untuk memanfaatkan "bargaining position" nya secara bermartabat. Karena dengan kesadaran profesional seperti itu, guru secara lebih aktif dapat memberikan kontribusinya terhadap perbaikan kualitas proses pembelajaran.

2. Reorentasi program, memberdayakan program "link and match" melalui "cooperative education" dan "dual system" dalam kurikulum. Untuk itu perlu peningkatan kemampuan dalam pembobotan kurikulum, mutu tenaga pengajar, dan kepedulian dunia kerja.

Lembaga pendidikan merupakan sub sistem dari sistem sosial pembangunan, oleh itu keberadaan dan eksistensinya tidak lepas dari sub sistem lainnya. Dengan demikian sharing ide maupun aktivitas lainnya yang bernuansa sinergi dengan komponen lain hendaknya harus merupakan bagian tak terpisahkan dari program perbaikan sinambung (countinues improvement) program pembelajaran. Pengabaian dari fakta tersebut hanya menciptakan "menara gading" yang tidak memiliki manfaat yang berarti bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat secara umum, khususnya bagi penciptaan kesiapan lulusan untuk berkiprah dalam dunia kerja.

3. Reorentasi kelembagaan, perlu mengkaji ulang keberadaan lembaga pendidikan yang memiliki tingkat kejenuhan untuk lulusannya di lapangan kerja. Konversi IKIP ke dalam Universitas merupakan langkah kongkrit yang perlu terus dilaksanakan secara konsisten, konversi itu berimplikasi pada menurunnya jumlah penawaran tenaga pengajar yang secara langsung akan menyebabkan meningkatnya penghargaan dan harkat hidup tenaga pendidik. Kebijaksanaan konversi ini pun dapat dilakukan untuk lembaga pendidikan lainnya terutama pada bidang keilmuan yang sudah jenuh.

Kedua, Investasi sosial (peningkatan anggaran pendidikan) sebagai perangsang investasi individual. Untuk mengatasi kebocoran devisa akibat larinya dana pendidikan masyarakat berpenghasilan tinggi ke luar negeri, perlu diupayakan pendirian sekolah unggulan baik yang dibiayai oleh swasta maupun pemerintah. Untuk itu perlu seperangkat kebijakan guna lebih memperlancar program tersebut, di antaranya: (a) regulasi pengelolaan pendidikan, dan (b) meningkatkan investasi pemerintah lewat peningkatan anggaran pendidikan.

Ketiga, sebagai salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik perlu diperluas kesempatan berkembangnya sektor informal. Daya serap sektor ini cukup besar dan memiliki kemampuan yang tak terbatas. Pelita IV 56% TK terserap di sektor ini sementara sektor formal terutama bidang jasa memiliki kemampuan serap yang sangat terbatas. Berbagai kebijaksanaan untuk memberi peluang berkembang sektor informal harus terus diupayakan dengan tidak mengurangi usaha penanganan ekses negatif dari berkembangnya sektor ini.

F. Implementasi pada Program Studi Matematika

Program studi matematika pada LPTK pada dasarnya mencetak tenaga kependidikan untuk bidang studi matematika. Dengan orentasi khusus, pada penyediaan tenaga guru untuk pendidikan dasar dan menengah. Parsialisasi kompetensi dan spesialisasi secara linear memberikan jaminan terciptanya fokus profesionalisme dan kepastian pekerjaan bagi lulusan. Namun bila dilihat dari kecenderungan kesempatan kerja pada milenium ketiga yang mengarah pada sistem terbuka. Maka eklusivitas profesi menjadi sesuatu yang perlu dikaji ulang.

Sistem terbuka pada dunia kerja di masa mendatang akan bercirikan hubungan kerja yang longgar, dan malahan outsourching, dengan mekanisme kontrak yang lebih banyak dijalankan. Sehingga turn over dalam pekerjaan akan semakin terbuka, sehingga kompentensi yang dimiliki seyogyanya bersifat generalis sehingga memungkinkan pindah profesi secara cepat.

Apabila program studi matematika bersipat eklusif, atau hanya mencetak tenaga guru matematika, maka sangat sulit bagi lulusannya dikemudian hari untuk melakukan pindah pekerjaan. Apalagi, dengan hanya mengandalkan untuk menjadi PNS, karena peluang untuk semakin lama akan semakin berkurang sebagai konsekwensi dari kebijakan zero growth. Dan percepatan ke arah itu lebih terlihat dengan diberlakukannya otonomi daerah. Sementara yayasan-yayasan pendidikan dasar dan menengah belum begitu tertarik dalam perekrutan tanaga kerja dengan sistem tertutup.

Melihat kondisi di atas, sebaiknya apabila momentum perubahan IKIP menjadi UPI digunakan sebaik mungkin, khususnya dalam menata ulang kurikulum dan visi pengelola manajemen. Hanya dengan itulah, masalah pengangguran terdidik yang berlatar belakang keilmuan pendidikan matematika dapat dihindari sedini mungkin. Penataan ulang kurikulum, sejauh mungkin memuat nilai antisipatif terhadap kecenderungan dunia kerja di masa yang akan datang. Sedang menyangkut visi sebaiknya diarahkan pada fokus bahwa pendidikan merupakan keputusan investatif bukan hanya sekedar konsumtif.

Penutup

Penerapan konsep manajemen mutu dalam penyelenggaraan pendidikan memuat kandungan tentang sistem kerja yang terintegrasi antara dunia pendidikan tinggi dengan pengguna. Keluaran perguruan tinggi seyogyanya memiliki nilai relevansi dan koherensi yang tinggi dengan dunia kerja, sehingga kesan "pemborosan" pada pendidikan tinggi di Indonesia dapat ditepis, dan secara makro pengguran terdidik dapat ditekan. Kondisi itu dapat terwujud lebih cepat, bila pembenahan manajemen internal didukung oleh komitmen pemerintah yang kuat khususnya dalam penyediaan anggaran yang memadai.

Pustaka

Wahjoetoemo (1995), Manajemen Perguruan Tinggi pada Era Global, Grasindo, Jakarta.

___________ (1993), Deregulasi Pendidikan, Grasindo, Jakarta

Unmer Malang (1994), Menuju Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien, Rumusan Hasil Seminar, 27-28 Juli 1994, Malang.

___________ (1996), Mempersiapkan Mutu Perguruan Tinggi Menuju Kualitas Global, Kumpulan Makalah Seminar Nasional 11-13 November 1996, Malang.

Depdikbud (1995), Pembangunan Pendidikan Nasional Dalam Repelita VI, Jakarta.

Unmer Malang, Kumpulan makalah Hasil Seminar Nasional "Mutu PTS menjelang Era Globalisasi", 1996.
Unmer Malang, Laporan Hasil Seminar "Menuju Manajemen PTS yang Efisien", 1995.