Jan Horas V. Purba
Dosen di Akademi Manajemen Kesatuan Bogor dan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Kesatuan Bogor.
Pendidikan terakhir, S-2, Program Studi Ekonomi Pertanian, IPB
Bogor
I. PENDAHULUAN
Ekspor minyak sawit Indonesia memiliki pertumbuhan yang paling mengesankan. Pada tahun 1982, nilai ekspor minyak sawit baru berkisar US $ 103 juta dan berada pada urutan ketujuh setelah kayu, karet, kopi, udang (dan hewan lainnya), tekstil dan teh. Pada tahun 1998 nilai ekspor minyak sawit telah mencapai US $ 1.525 milyar dan berada pada urutan pertama ekspor non-migas Indonesia (BPS, 1998)
Dari sisi internasional, terdapat pergeseran minyak hewani ke minyak nabati. Pangsa produksi minyak hewani menurun dari 41,30 % (1961) menjadi 21,77 % (1995), sedangkan pangsa minyak nabati naik dari 53,77 % (1961) menjadi 76,99 % (1995) dengan laju 8,35 % per tahun. Pada awal tahun 1960-an sumber minyak nabati dunia didomimasi oleh minyak kedele dengan pangsa 12,29 % dari total produksi minyak dan lemak dunia sementara minyak sawit adalah 3,18 %. Dalam tiga setengah dekade kemudian (1995), pangsa minyak sawit telah mencapai 16,49 % dengan laju pertumbuhan 38,56 % per tahun dan jauh lebih unggul dari minyak kedele dengan pertumbuhan 10,72 % per tahun.
Perkembangan produksi di atas juga seiring dengan perkembangan konsumsi minyak sawit dunia yang mengalami peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat dari 1,08 juta ton (1961) menjadi 13,71 juta ton (1995), dengan laju pertumbuhan 9 % per tahun (Oil world, 1995).
Adanya perubahan struktur konsumsi minyak sawit dunia, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi penawaran ekspor minyak sawit Indonesia. Oleh karena itu, struktur produksi dan penawaran minyak sawit Indonesia tidak saja akan tergantung pada faktor ekonomi internal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi eksternal. Dengan demikian maka penelitian kelapa sawit Indonesia perlu dilakukan, baik menyangkut produksi minyak sawit domestik maupun penawaran minyak sawit Indonesia di pasar internasional.
Disamping perbedaan antar wilayah, juga terdapat perbedaan produksi maupun produktivitas antar pola pengusahaan (perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara). Oleh sebab itu keragaan kelapa sawit Indonesia akan dianalisis berdasarkan pembagian wilayah dan pola pengusahaan.
Berdasarkan pembagian tersebut maka yang menjadi pertanyaan adalah : faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan areal tanam kelapa sawit Indonesia dan seberapa besar pengaruhnya pada setiap pola pengusahaan di masing-masing wilayah produksi?
Nilai ekspor minyak sawit Indonesia ditentukan oleh volume ekspor dan harga minyak sawit di pasar internasional. Fluktuasi harga di pasar domestik tidak terlepas dari pengaruh tingkat produksi minyak sawit, kebijakan stok dan tingkat konsumsi minyak sawit dunia. Perubahan permintaan minyak sawit di pasar internasional akan mempengaruhi struktur harga, kemudian perubahan harga minyak sawit dunia akan mempengaruhi produksi maupun penawaran ekspor minyak sawit Indonesia. Maka yang menjadi pertanyaan adalah : faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat harga minyak sawit di pasar internasional maupun pasar domestik?
Berdasarkan uraian di atas maka studi tentang perkelapa-sawitan nasional perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi dan perubahan apa saja yang terjadi di tingkat internasional maupun di tingkatdomestik. Dari hasil studi tersebut akan dapat diantisipasi perkembangan kelapa sawit Indonesia dan berguna untuk menyusun kebijakan selanjutnya.
2.1. Kerangka Pendekatan
Berdasarkan masalah dan tujuan yang telah dikemukakan maka secara diagramatis dapat dinyatakan hubungan areal kelapa sawit Indonesia dengan peubah-peubah lainnya (Gambar Lampiran 1). Selanjutnya digunakan pendekatan : (1) Teori Penawaran; (2) Sistem Produksi Minyak Sawit Indonesia; (3) Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat, Perkebuanan Besar Swasta dan Perkebunan Negara di Indonesia, (4) Penawaran Ekspor; (5) Harga Kelapa sawit di Pasar Domestik dan Pasar Internasional
APRUt = ao + a1 HCDNt + a2 HPUKt + a3 HRDN + a4 HNDN +
A5 UTKUt + a6 SBUHt + a7 D + a8 APRUt-1 + U1 (1)
APRSt = bo + b1 HCDNt + b2 HPUKt + b3 HRDN + b4 HNDN +
b5 UTKSt + b6 SBUHt + b7 D + b8 APRSt-1 + U2 (2)
APROt = co + c1 HCDNt + c2 HPUKt + c3 HRDN + c4 HNDN +
C5 UTKOt + c6 SBUHt + c7 D + c8 APROt-1 + U3 (3)
APRTt = APRUt + APRSt + APROt (4)
APPRUt = APRUt - ANPRUt (5)
APPRSt = APRSt - ANPRSt (6)
APPROt = APROt - ANPROt (7)
APPRTt = APPRUt + APPRSt + APPROt (8)
Koefisien regresi yang diharapkan (hipotesis) adalah : a1, b1, c1, a7, b7, c7 > 0;
a2, b2, c2, a3, b3, c3, a4, b4, c4, a5, b5, c5, a6, b6, c6, < 0; dan 0 < a7, b7, c7 < 1
APBUt = do + d1 HCWDt + d2 HPUKt + d3 HRWD + d4 HNWD + d5 D +
d6 UTKUt + d7 SBUHt + d8 HBWDt + d9 APBUt-1 + U4 (9)
APBSt = eo + e1 HCWDt + e2 HPUKt + e3 HRWD + e4 HNWD + e5 D +
e6 UTKSt + e7 SBUHt + e8 HBWDt + e9 APBSt-1 + U5 (10)
APBOt = fo + f1 HCWDt + f2 HPUKt + f3 HRWD + f4 HNWD + f5 D +
f6 UTKOt + f7 SBUHt + f8 HBWDt- + f9 APBOt-1 + U6 (11)
APBTt = APBUt + APBSt + APBOt (12)
APPBUt = APBUt - ANPBUt (13)
APPBSt = APBSt - ANPBSt (14)
APPBOt = APBOt - ANPBOt (15)
APPBTt = APPBUt + APPBSt + APPBOt (16)
Koefisien regresi yang diharapkan : d1, e1, f1, d5, e5, f5 > 0 dan 0 < d9, e9, f9 < 1
d2, e2, f2, d3, e3, f3, d4, e4, f4 , d6, e6, f6 , d7, e7, f7 , d8, e8, f8 < 0
APNTt = APNUt + APNSt + APNOt (20)
APPNUt = APNUt - ANPNUt (21)
APPNSt = APNSt - ANPNSt (22)
APPNOt = APNOt - ANPNOt (23)
APPNTt = APPNUt + APPNSt + APPNOt (24)
g2, h2, i2, g3, h3, i3, g4, h4, i4 , g6, h6, i6, g7, h7, i7, g8, h8, i8 < 0
a. Produktivitas Perkebunan Rakyat
PVRUt = jo + j1 HCDNt + j2 SBUHt + j3 UTKUt + j4 HPUKt +
j5 JCHUt + j6 Trend + j7 PVRUt-1 + U10 (25)
PVRSt = ko + k1 HCDNt + k2 SBUHt + k3 UTKSt + k4 HPUKt +
k5 JCHSt + k6 Trend + k7 PVRSt-1 + U11 (26)
PVROt = lo + l1 HCDNt + l2 SBUHt + l3 UTKOt + l4 HPUKt +
l5 JCHOt + l6 Trend + l7 PVROt-1 + U12 (27)
Koefisien regresi yang diharapkan :
j1, k1, l1, j3, k3, l3, j5, k5, l5, j6, k6, l6, > 0; j2, k2, l2, j4, k4, l4,< 0 dan 0 < j7, k7, l7 < 1
b. Produktivitas Perkebunan Besar Swasta
PVBUt = mo + m1 HCWDt + m2 SBUHt + m3 UTKUt + m4 HPUKt +
m5 JCHUt + m6 Trend + m7 PVBUt-1 + U13 (28)
PVBSt = no + n1 HCWDt + n2 SBUHt + n3 UTKSt + n4 HPUKt +
N5 JCHSt + n6 Trend + n7 PVBSt-1 + U14 (29)
PVBOt = oo + o1 HCWDt + o2 SBUHt + o3 UTKOt + o4 HPUKt +
o5 JCHOt + o6 Trend + o7 PVBOt-1 + U15 (30)
Koefisien regresi yang diharapkan : m2, n2, o2, m4, n4, o4 < 0 dan 0 < m6, n6, o6 < 1
m1, n1, o1, m3, n3, o3, m5, n5, o5, m6, n6, o6, > 0
c. Produktivitas Perkebunan Negara
PVNUt = po + p1 HCWDt + p2 SBUHt + p3 UTKUt + p4 HPUKt +
p5 JCHUt + p6 Trend + p7 PVNUt-1 + U16 (31)
PVNSt = qo + q1 HCWDt + q2 SBUHt + q3 UTKSt + q4 HPUKt +
q JCHSt + q6 Trend + q7 PVNSt-1 + U17 (32)
PVNOt = ro + r1 HCWDt + r2 SBUHt + o3 UTKOt + o4 HPUKt +
r5 JCHOt + r6 Trend + r7 PVNOt-1 + U18 (33)
Koefisien regresi yang diharapkan :
p1, q1, r1, p3, q3, r3, p5, q5, r5, p6, q6, > 0; p2, q2, r2, p4, q4, r4 < 0 dan 0 < p7, q7, r7 < 1
PPRUt = PVRUt * APPRUt (34)
PPRSt = PVRSt * APPRSt (35)
PPROt = PVROt * APPROt (36)
PPRTt = PPRUt + PPRSt + PPROt (37)
PPBUt = PVBUt * APPBUt (38)
PPBSt = PVBSt * APPBSt (39)
PPBOt = PVBOt * APPBOt (40)
PPBTt = PPBUt + PPBSt + PPBOt (41)
PPNUt = PVNUt * APPNUt (42)
PPNSt = PVNSt * APPNSt (43)
PPNOt = PVNOt * APPNOt (44)
PPNTt = PPNUt + PPNSt + PPNOt (45)
PCUt = PPRUt + PPBUt + PPNUt (46)
PCSt = PPRSt + PPBSt + PPNSt (47)
PCOt = PPROt + PPBOt + PPNOt (48)
PCIt = PPRTt + PPBTt + PPNTt (49)
EXCIt = so + s1 HCWDt + s2 HBWDt + s3 PCIt + s4 IMCWt + s5 NTRIt
+ s6 D2 + s7 GDPJt + s8 GDPLt + s9 EXCIt-1 + U19 (50)
EXCMt = to + t1 HCWDt + t2 NTRMt + t3 PCMt
+ t4 STOMt + t5 EXCMt -1 + U20 (51)
EXCWt = EXCIt + EXCMt + EXROWt (52)
EXRIt = EXCWt - EXCIt (53)
Koefisien regresi yang diharapkan :
s1, t1, s2, t2, s3, t3, s4, s5, s7, s8 > 0, s6, t4 < 0; dan 0 < s9, t5 < 1
+ u5 Trend + u6 HCDNt-1 + U21 (54)
HCWDt = vo + v1 IMCWt + v2 EXCIt + v3 EXRIt
+ v4 STOWt + v5 Trendt + v6 HCWDt -1 + U22 (55)
Koefisien regresi yang diharapkan :
u1, u4, u5, v4,
v5
> 0, u2, u3, v1, v2,
v3,
v6 < 0; dan 0 < u6, v7
<
1
Analisis dilakukan dengan menggunakan data seri waktu 1979-1998, dengan metoda pendugaan persamaan simultan 2 SLS (two stage least squares method) (Theil dan Zelner, 1962). Untuk persamaan identitas (34-49) dianalisis dengan metoda tabulasi. Validasi model persamaan simultan dilakukan dengan dengan beberapa kriteria statistik seperti, RMSE (root mean square error), RMSPE (root mean square percent error), koefisien determinasi (R2) dan Theil’s inequality coeffcient (U).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil model dengan metode 2 SLS menunjukkan (a) nilai statistik F berkisar antara 1,006 hingga 637,666, artinya variasi dari peubah endogen secara nyata dapat dijelaskan oleh masing-masing peubah eksogen; (b) nilai R2 berkisar antara 0,2791 hingaa 0,9959, yang menjelaskan bahwa peubah eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah endogen; dan (c) peubah penjelas pada masing-masing persamaan terhadap peubah endogen digunakan uji statitik-t, pada tingkat kepercayaan (a ) sebesar : 1 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 %, yang masing-masing dilambangkan dengan A, B, C, D, E. dan F.
a.1. Luas Areal Perkebunan Rakyat di Sumatera Bagian Utara (APRU)
Perubahan harga akan mendorong perluasan areal perkebunan rakyat di Sumatera Bagian Urtara (NS), dengan elastisitas jangka pendek 1,002 dan elastisitas jangka panjang 1.136. Jika harga naik 1 % maka perluasan areal baru akan naik sebesar 1.002% dalam jangka pendek dan 1.136 % jangka panjang.
Suku bunga harapan riel dan upah tenaga kerja tidak responsif terhadap perluasan areal dan memiliki dampak yang sangat kecil terhadap luas areal kelapa sawit rakyat NS. Elastisitas jangka pendek dan jangka panjang suku bunga adalah –0.023 dan –0.026. Jika suku bunga naik 10 %, maka luas areal akan berkurang sebesar 0.23 % dalam jangka pendek dan 0.26 % dalam jangka panjang. Elatisistas upah tenaga kerja jangka pendek 0.188 dan jangka panjang 0.213. Jika upah dinaikkan 10 %, maka dalam jangka pendek perluasan areal naik 1,88 % dan jangka panjang luas areal bertambah 2,13 %. Kemajuan teknologi 1 % akan berdampak positif dan meningkatkan luas areal sebesar 1,267 % dalam jangka pendek dan naik sebesar 1,437 dalam jangka panjang.
a.2. Luas Areal Perkebunan Rakyat di Wilayah Sumatera Lainnya (APRS)
Areal perkebunan rakyat RS tidak responsif terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang, dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0.877 dan 2.331. Artinya kenaikan harga sebesar 10 % akan menambah areal kelapa sawit rakyat sebesar 8.77 % dalam jangka pendek dan 23.31 % dalam jangka panjang.
Suku bunga memiliki dampak negatif terhadap perluasan areal. Jika suku bunga naik 10 %, maka dalam jangka pendek dan jangka panjang areal baru akan berkurang 0.21 % dan 0,55 %. Sementara kenaikan upah tenaga kerja 10 % akan mendorong areal baru sebesar 2,79 % dalam jangka pendek dan 7,42 % dalam jangka panjang.
Komoditas karet merupakan tanaman yang berkompetisi dalam hal penggunaan lahan, namun dampaknya sangat kecil. Jika harga karet domestik naik 10 %, maka areal kelapa sawit akan berkurang sebesar 0.25 % dalam jangka pendek dan 0.67 % dalam jangka panjang.
Peubah lag areal tidak responsif dalam jangka pendek namun responsif dalam jangka panjang. Jika areal kelapa sawit tahun lalu naik 10 %, maka dalam jangka pendek akan mendorong perluasan areal 3,81 %, namun dalam jangka panjang akan bertambah 10,12 %.
a.3. Luas Areal Perkebunan Rakyat di Luar Sumatera (APRO)
Areal perkebunan rakyat di Luar Sumatera responsif terhadap perubahan harga riel CPO domestik. Kenaikan harga CPO domestik sebesar 1 % akan mendorong perluasan areal di Luar Sumatera sebesar 1.045 % dalam jangka pendek dan 23,455 % dalam jangka panjang.
Kenaikan harga input berdampak negatif terhadap perluasan areal, karena setiap kenaikan harga input akan memperbesar biaya investasi di Luar Sumatera. Jika harga pupuk naik 1 %, maka dalam jangka pendek areal akan berkurang 0.339 % sedangkan kenaikan upah 1 % akan berdampak pada pengurangan areal 0,287 %. Dalam jangka pendek pengaruh perubahan tersebut kelihatan relatif kecil, namun dalam jangka panjang perubahan harga pupuk maupun upah tenaga kerja sebesar 10 % akan berdampak pada pengurangan areal yang cukup besar yakni masing-masing 76,12 % dan 64.44 %. Kelapa merupakan tanaman yang berkompetisi terhadap kelapa sawit di Luar Sumatera. Jika harga minyak kelapa domestik naik 10 % maka areal akan berkurang 0,77 % dalam jangka pendek dan 17,13 % dalam jangka panjang.
Berdasarkan elastisitas peubah lag areal dapat dilihat bahwa Luar Sumatera memiliki potensi pengembangan kelapa sawit rakyat yang besar dalam jangka panjang dibanding Wilayah lainnya. Jika areal tahun lalu meningkat 1 %, maka dalam jangka panjang areal akan meningkat sebesar 18.478 % di Luar Sumatera, dan sebesar 1.012 % di Wilayah Sumtera Lainnya, sedangkan di Sumatera Bgaian Utara hanya bertambah 0.123 %. Dengan demikian dapat dilihat bahwa perluasan areal sudah sulit dilakukan di Sumatera Bagian Utara.
b.1. Luas Areal Perkebunan Swasta di Sumatera Bagian Utara (APBU)
Areal kelapa sawit perkebunan swasta di Sumatera Bagian Utara tidak responsif terhadap perubahan harga. Jika harga CPO berubah 1 %, maka luas areal akan berkurang 0.417 % dalam jangka pendek dan 0.913 % dalam jangka panjang. Sedangkan peningkatan upah tenaga kerja 1 % akan berdampak pada pengurangan areal 0.062 % dalam jangka pendek dan berkurang 0.135 % dalam jangka panjang. Demikian halnya dengan kenaikan suku bunga 1 % akan berdampak pada kenaikan luas areal 0.007 % dalam jangka pendek dan 0.016 % dalam jangka panjang.
Peubah-peubah tersebut tidak responsif dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa perluasan areal kelapa sawit perkebunan swasta di wilayah Sumatera Bagian Utara telah mendekati batas jenuh.
b.2. Luas Areal Perkebunan Swasta di Wilayah Sumatera Lainnya (APBS)
Harga CPO dunia merupakan faktor yang mempengaruhi areal baru perkebunan swasta di Luar Sumatera. Jika harga CPO dunia naik 1 % maka areal akan meningkat 0.577 % dalam jangka pendek dan 3.379 % dalam jangka panjang. Kenaikan harga pupuk 1 % akan mengakibatkan berkurangnya perluasan areal sebesar 0.079 dalam jangka pendek dan 0.465 dalam jangka panjang.
Kenaikan harga kopra dunia sebesar 1 % akan mengakibatkan pengurangan areal perkebunan swasta sebesar 0.145 % dalam jangka pendek dan 0.848 % dalam jangka panjang. Jika upah turun 10 % maka areal akan bertambah sebesar 0.85 % dalam jangka pendek dan 4.95 % dalam jangka panjang.
Pertambahan areal tahun lalu tidak responsif dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Jika areal tahun lalu naik 1 % maka akan meningkatkan pertambahan areal sebesar 0.829 % dalam jangka pendek dan bertambah hampir 5 % dalam jangka panjang.
b.3. Luas Areal Perkebunan Swasta di Luar Sumatera (AVBO)
Luas areal kelapa sawit perkebunan swasta di Luar Sumatera berhubungan positif terhadap trend dan luas areal tahun sebelumnya. Sedangkan peubah harga memiliki tanda yang negatif dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kenaikan harga tidak memberikan rangsangan bagi pihak swasta untuk membuka areal baru di Luar Sumatera, namun harga pupuk berpengaruh negatif. Hal ini menekankan bahwa peubah pupuk merupakan komponen penting dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam biaya produksi, sehingga berpengaruh negatif terhadap investasi perluasan areal baru di Luar Sumatera.
Peningkatan areal tahun lalu sebesar 1 % akan mendorong perluasan areal 0.883 % (jangka pendek) dan 7,551 % (jangka panjang). Hal ini mendukung pembahasan sebelumnya, bahwa dalam jangka panjang perluasan areal lebih responsif di Luar Sumatera dengan elastisitas 7.551. Sementara Wilayah Sumatera Lainnya adalah 4.856, sedangkan di Sumatera Bagian Utara adalah 1.109. Kesimpulan ini juga sesuai dengan perkebunan rakyat, dimana arah pengembangan kelapa sawit dalam jangka panjang adalah Luar Sumatera.
Areal perkebunan negara NS tidak responsif terhadap perubahan harga, dengan elastisitas jangka pendek 0.128 dan jangka panjang 0.209. Perubahan teknologi juga tidak responsif terhadap perubahan areal baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sedangkan upah tenaga kerja perkebunan setempat juga tidak responsif terhadap perubahan areal kelapa sawit di Sumatera Bagian Utara. Jika tingkat upah naik 10 %, perluasan areal baru akan berkurang 0.69 % dalam jangka pendek dan 1.57 % dalam jangka panjang.
Areal perkebunan negara dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan luas areal tahun dengan nilai elastisitas 0.558, namun responsif dalam jangka panjang dengan elastisitas 1.262.
c.2. Luas Areal Perkebunan Negara di Wilayah Sumatera Lainnya (APNS)
Peubah harga memiliki tanda negatif dan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor yang menentukan keputusan pemerintah dalam perluasan areal baru. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terdahulu, dimana swasta memiliki perilaku yang rasional sementara pemerintah (perkebunan negara) berprilaku yang sebaliknya. Jika harga minyak kelapa domestik turun 10 % akan berdampak pada peningkatan areal baru sebesar 0.40 % dalam jangka pendek dan 0.49 % dalam jangka panjang. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat persaingan areal antara kelapa dan kelapa sawit, pengaruhnya kelapa adalah relatif kecil sehingga tidak memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perluasan areal kelapa sawit. Peningkatan areal tahun lalu 10 % akan mendorong perluasan areal baru 1.85 % dalam jangka pendek dan 2.26 % jangka panjang.
c.3. Luas Areal Perkebunan Negara di Luar Sumatera (APNO)
Areal kelapa sawit di Luar Sumatera tidak responsif terhadap perubahan harga CPO dunia dalam jangka pendek namun sangat responsif dalam panjang, dengan nilai elastisitas masing-masing 0.900 dan 14.270. Harga karet alam dunia memiliki dampak yang negatif terhadap perluasan areal. Jika harga karet alam dunia naik 1 % maka pertambahan areal baru perkebunan negara di Luar Sumatera akan berkurang 0.564 % dalam jangka pendek dan 8.938 % dalam jangka panjang. Jika harga pupuk naik 10 % maka perubahan areal akan turun 2.67 % dalam jangka pendek dan sebesar 42.36 % dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa harga pupuk merupakan faktor penting dalam keputusan pengembangan areal kelapa sawit di Luar Sumatera, yang juga dialami oleh perkebunan swasta. Kenaikan areal tahun lalu sebesar 1 % akan mendorong perluasan areal baru dalam jangka panjang sebesar 14.851 %.
a.1. Produktivitas Perkebunan Rakyat di Sumatera Bagian Utara (PVRU)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat NS tidak responsif terhadap perubahan harga M3 (rasio harga CPO dunia dengan harga CPO domestik). Jika harga M3 naik 10 % maka produktivitas meningkat 2.70 % dalam jangka pendek dan 2.77 % dalam jangka panjang. Produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat NS tidak responsif terhadap perubahan areal. Jika areal perkebunan rakyat NS naik 10 % maka dalam jangka pendek tingkat produktivitas akan naik sebesar 3.52 % dan dalam jangka panjang naik 3.60 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 0.23 % dalam jangka pendek dan 0.23 % dalam jangka panjang.
a.2. Produktivitas Perkebunan Rakyat di Wilayah Sumatera Lainnya (PVRS)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat di Wilayah Sumatera Lainnya tidak responsif terhadap perubahan harga. Kenaikan harga 10 % akan mendorong produktivitas 1.47 % dalam jangka pendek dan 2.44 % dalam jangka panjang. Kebijakan pemerintah memiliki dampak positif terhadap produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat RS. Jika areal naik 10 % maka jangka pendek produktivitas naik 4.71 % dan jangka panjang naik 7.82 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 3.98 % dalam jangka pendek dan 6.60 % dalam jangka panjang.
a.3. Produktivitas Perkebunan Rakyat di Luar Sumatera (PVNO)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat di Luar Sumatera responsif terhadap perubahan harga M1. Nilai M1 tersebut adalah nilai yang menggambarkan keuntungan dari selisih harga CPO dengan harga pupuk. Jika M1 naik 1 % maka produktivitas meningkat 16.804 % dalam jangka pendek dan 21.197 % dalam jangka panjang. Jika areal perkebunan rakyat OS naik 10 % maka dalam jangka pendek tingkat produktivitas meningkat 0.07 % dan dalam jangka meningkat 0.09 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 2.07 % dalam jangka pendek dan 2.61 % dalam jangka panjang.
Secara umum, peubah upah tenaga kerja memiliki tanda negatif terhadap peningkatan produktivitas di ketiga wilayah dan bertentangan dengan hipotesa. Hal ini menunjukkan bahwa upah yang diterima rakyat adalah sedemikian rendahnya sehingga tidak berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas di ketiga wilayah.
b.1. Produktivitas Perkebunan Swasta di Sumatera Bagian Utara (PVBU)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan swasta di Sumatera Bagian Utara responsif terhadap perubahan harga, maupun perubahan areal serta peubah lag-nya. Jika harga naik 1 % maka produktivitas meningkat 2.96 % dalam jangka pendek dan 3.64% dalam jangka panjang Sementara peningkatan areal 10 % berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas dalam jangka pendek (1.78 %) dan jangka panjang (2.29 %). Jika produktivitas tahun lalu naik 10 % maka produktivitas naik 1.86 % dalam jangka pendek dan 2.29 % dalam jangka panjang.
b2. Produktivitas Perkebunan Swasta Wilayah Sumatera Lainnya (PVBS)
Peubah harga CPO belum mampu merangsang perbaikan produktivitas kelapa sawit swasta di Wilayah Sumatera Lainya. Demikian halnya dengan luas areal, jika areal naik 10 % maka dalam jangka pendek tingkat produktivitas akan naik sebesar 0.96 % dan dalam jangka panjang naik 1.02 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 0.62 % dalam jangka pendek dan 0.66 % dalam jangka panjang.
b.3. Produktivitas Perkebunan Swasta di Luar Sumatera (PVBO)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan swasta di Luar Sumatera tidak responsif terhadap perubahan areal. Jika areal naik 10 % maka produktivitas akan naik sebesar 1.01 % (jangka pendek) dan 0.50 % (jangka panjang). Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 3.28 % dalam jangka pendek dan 4.88 % dalam jangka panjang.
Produktivitas kelapa sawit perkebunan negara NS responsif terhadap perubahan harga riel CPO domestik, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Kenaikan harga riel CPO domestik sebesar 1 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 4.46 % dalam jangka pendek dan 13.33 % dalam jangka panjang. Jika areal perkebunan negara naik 10 % maka dalam jangka pendek produktivitas naik 0.31 % dan jangka panjang naik 0.94 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 6.65 % dalam jangka pendek dan 19.87 % dalam jangka panjang.
c.2. Produktivitas Perkebunan Negara Wilayah Sumatera Lainnya (PVNS)
Produktivitas kelapa sawit perkebunan negara di Wilayah Sumatera Lainnya responsif terhadap perubahan harga harga riel CPO domestik. Kenaikan harga 1 % akan meningkatkan produktivitas 12.475 % dalam jangka pendek dan 20.602 % dalam jangka panjang. Jika areal perkebunan negara di Wilayah Sumatera Lainnya naik 1 % maka dalam jangka pendek tingkat produktivitas akan naik sebesar 123.433 % dan dalam jangka panjang naik 203.844 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 3.94 % dalam jangka pendek dan 6.51 % dalam jangka panjang.
c.3. Produktivitas Perkebunan Negara di Luar Sumatera (PVNO)
Produktivitas perkebunan negara di Luar Sumatera responsif terhadap perubahan harga riel CPO domestik. Kenaikan harga riel CPO domestik 1 % akan meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek dan jangka panjang, masing-masing 27.053 % dan 38.207 %. Jika areal perkebunan negara di Luar Sumatera naik 10 % maka dalam jangka pendek tingkat produktivitas akan naik sebesar 0.61 % dan dalam jangka panjang naik 0.86 %. Peningkatan produktivitas tahun lalu 10 % akan meningkatkan tingkat produktivitas sebesar 2.92 % dalam jangka pendek dan 4.12 % dalam jangka panjang.
Secara umum terlihat adanya perbedaan respon perubahan harga CPO antara perkebunan negara di satu sisi dan perkebunan swasta dan rakyat di sisi lain. Dimana harga CPO mampu mendorong perbaikan produktivitas perkebunan negara sementara perkebunan swasta dan perkebunan rakyat adalah yang sebaliknya.
Persamaan produksi dinyatakan dalam bentuk persamaan identitas. Produksi minyak sawit Indonesia berdasarkan wilayah dan pengusahaan diperoleh dengan cara mengalikan tingkat produktivitas dengan areal produktif (harvested area) masing-masing.
Dengan meningkatnya luas areal 1 ha, diperoleh perbedaan respon produktivitas antar wilayah maupun antar pengusahaan. Dengan mengalikan nilai koefisien tersebut dengan areal produktif produksi kelapa sawit Indonesia dapat diketahui di masing-masing wilayah dan pola pengusahaan, sebagaimana dinyatakan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Dilihat
dari Hubungan Produktivitas dan Areal Produktif Berdasarkan Wilayah dan
Pengusahaan
|
|
|
|
|
A. Produktivitas | ||||
NU |
0.000024870
|
0.000003020
|
0.000000545
|
0.000009478
|
RS |
0.000004570
|
0.000004539
|
0.000022715
|
0.000010608
|
OS |
0.000000868
|
0.000003403
|
0.000007580
|
0.000003950
|
Indonesia |
0.000010103
|
0.000003654
|
0.000010280
|
0.000008012
|
B. Produksi | ||||
NU |
2.872
|
0.760
|
0.161
|
1.264
|
RS |
1.263
|
0.453
|
8.096
|
3.271
|
OS |
0.129
|
0.227
|
0.660
|
0.339
|
Indonesia |
1.421
|
0.480
|
2.973
|
1.625
|
Keterangan : NU = Sumatera Bagian Utara; RS = Wilayah Sumatera Lainnya; OS = Luar Sumatera
Koefisien parameter produktivitas di atas menunjukkan dampak kenaikan 1 ha luas areal kelapa sawit terhadap peningkatan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Jika areal kelapa sawit di Indonesia naik 1 ha, maka tingkat produktivitas minyak sawit (crude palm oil) akan meningkat sebesar 0.000008012 ton/ha atau 8,012 gram/ha. Berdasarkan wilayah, terlihat bahwa produktivitas tertinggi adalah di Wilayah Sumatera Lainnya, dimana setiap pertambahan 1 areal baru akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas di wilayah tersebut sebesar 10.608 gram/ha. Sedangkan perubahan produktivitas di Sumatera Bagian Utara adalah 9.478 gram/ha dan di Luar Sumatera adalah yang terendah, yakni 3.95 gram/ha.
Berdasarkan pola pengusahaan, produktivitas yang tertinggi adalah perkebunan negara. Jika areal baru bertambah 1 ha, maka tingkat produktivitas CPO akan naik 10.280 gram/ha, kemudian diikuti perkebunan rakyat sebesar 10.103 gram/ha, sedangkan perkebunan swasta adalah 3.654 gram/ha. Implikasinya, dalam upaya peningkatan dan pengembangan industri kelapa sawit Indonesia maka perbaikan produktivitas perkebunan swasta perlu dilakukan, dan merupakan prioritas utama dibanding perkebunan rakyat dan perkebunan negara.
Jika tingkat produktivitas di atas dikaitkan dengan areal
produktif kelapa sawit Indonesia (tahun 1998), maka dampak peningkatan
areal terhadap peningkatan produksi dapat adalah sebagai berikut. Jika
areal kelapa sawit bertambah 1 ha di Sumatera Bagian Utara akan menambah
produksi minyak sawit sebesar 1.264 ton; sedangkan di Wilayah Sumatera
Lainnya bertambah sebesar 3.271 ton dan di Luar Sumatera meningkat sebesar
0.339 ton. Dan secara nasional akan bertambah sebesar 1,625 ton. Berdasarkan
pola pengusahaan, terlihat bahwa peningkatan areal kelapa sawit negara
sebesar 1 ha akan menambah produksi sebesar 2.973 ton, sementara perkebunan
rakyat meningkat sebesar 1.421 ha dan perkebunan swasta adalah 0.480 ton
dan tingkat produksi tertinggi adalah perkebunan negara di Wilayah Sumatera
Lainnya.
a. Ekspor CPO Indonesia (EXCI)
Perubahan harga CPO dunia akan merangsang ekspor CPO Indonesia dengan elastisitas jangka pendek 0.011 dan jabngka panjang 0.015. Sedangkan perubahan produksi CPO Indonesia sangat responsif terhadap ekspor CPO Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang, dengan elastisitas masing-masing sebesar 6.296 dan 8.505.
Ekspor CPO sisa dunia berdampak negatif terhadap ekspor CPO Indonesia dengan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar–0.409 dan –0.552. Jika ekspor CPO sisa dunia naik 10 %, maka ekspor CPO Indonesia akan turun sebesar 4.09 % dalam jangka pendek dan turun 5.52 % dalam jangka panjang. Sebaliknya, impor sisa dunia berdampak positif terhadap ekspor CPO Indonesia. Jika impor sisa dunia naik 10 % maka ekspor CPO Indonesia akan naik 1.71 % dalam jangka pendek dan 2.30 % dalam jangka panjang. Nilai tukar Rupiah Indonesia berdampak positif terhadap ekspor CPO Indonesia. Jika nilai tukar Rupiah Indonesia naik 10 %, maka dalam jangka pendek dan jangka panjang ekspor CPO Indonesia meningkat masing-masing sebesar 6.34 % dan 8.56 %.
Kebijakan pembatasan ekspor – yang dapat dipahami dalam rangka mengamankan industri minyak goreng di dalam negeri – akan berdampak pada penurunan ekspor CPO Indonesia. Jika pemerintah melakukan pembatasan ekspor sebesar 10 %, maka ekspor CPO Indonesia akan turun 1.00 % dalam jangka pendek dan 1.36 % dalam jangka panjang.
Negara Belanda merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia. Peningkatan GDP Belanda sebesar 10 % akan meningkatkan ekspor CPO Indonesia sebesar 0.46 % dalam jangka pendek dan 0.62 % dalam jangka panjang.
Peningkatan ekspor CPO Indonesia tahun lalu (lag) sebesar 10 % akan mendorong ekspor CPO Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang sebesar 2.60 % dan 3.51 %.
b. Ekspor CPO Malaysia (EXCM)
Perubahan harga minyak kedele dunia (USA) memiliki pengaruh negatif terhadap ekspor CPO Malaysia, dengan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar –0.119 dan –0.154. Jika harga riel minyak kedele dunia turun 10 %, maka ekspor CPO Malaysia akan naik sebesar 1.19 % dalam jangka pendek dan 1.54 % dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa minyak kedele ternyata bukan komoditas subtitusi terhadap minyak sawit sebagai mana yang dihipotesakan. Hubungan keduanya adalah saling komplementer, dimana penurunan harga minyak kedele akan berdampak pada meningkatnya permintaan kedele dan juga meningkatkan permintaan minyak sawit Malaysia.
Perubahan nilai tukar Ringgit Malaysia terhadap US $ memiliki nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebesar 0.072 dan 0.094. Jika nilai tukar Malaysia naik 10 % maka ekspor CPO Malaysia akan meningkat 0.72 % dalam jangka pendek dan 0.94% jangka panjang.
Ekspor CPO Malaysia tidak responsif terhadap perubahan produksi CPO Malaysia dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang, dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0.7585 dan 1.104. Jika produksi CPO Malaysia naik 10 % maka ekspor CPO Malaysia akan naik 7.85 % dalam jangka pendek dan 10.14 % dalam jangka panjang. Sementara peningkatan stok CPO Malaysia akan mengurangi ekspor CPO Malaysia, dengan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebesar –0.108 dan –0.139. Jika stok CPO Malaysia naik 10 %, maka ekspor CPO Malaysia akan turun sebesar 1.08 % dalam jangka pendek dan 1.39 % dalam jangka panjang . Sementara jika ekspor tahun lalu (lag) naik 10 % maka ekspor CPO Malaysia akan meningkat baik dalam jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 2.26 % dan 2.92 %.
Peningkatan harga riel CPO dunia naik 10 % akan mendorong kenaikan harga CPO domestik sebesar 2.77 % dalam jangka pendek dan 8.11 % dalam jangka panjang. Sementara jika stok CPO Indonesia naik, maka harga CPO domestik akan turun, dengan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar –0.470 dan –1.378. Jika nilai tukar Rupiah naik 10 %, maka harga CPO domestik akan naik 7.71 % dalam jangka pendek dan 22.59 % dalam jangka panjang. Sementara kenaikan produksi CPO Indonesia sebesar 1 % akan berdampak pada peningkatan harga CPO domestik sebesar 14.518 % dalam jangka pendek dan 42.524 % dalam jangka panjang. Jika harga CPO domestik tahun lalu naik 10 % maka harga CPO domestik akan meningkat baik dalam jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 6.59 % dan 19.29 % .
Perubahan ekspor CPO Indonesia juga responsif terhadap harga CPO dunia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika ekspor CPO Indonesia naik 10 % maka harga CPO dunia akan meningkat sebesar 15.50 % dalam jangka pendek dan meningkat 28.88 % dalam jangka panjang. Jika stok CPO dunia naik 10 % maka harga riel CPO dunia akan naik 5.22 % dalam jangka pendek dan 9.73 % dalam jangka panjang.
Harga CPO dunia tahun lalu (lag) tidak responsif dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas masing-masing sebesar 0.463 dan 0.973. Jika harga CPO dunia tahun lalu naik 10 % maka harga CPO dunia akan meningkat sebesar 6.59 % dalam jangka pendek dan 19.29 % dalam jangka panjang.
Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis alternatif kebijakan dengan mengubah nilai-nilai peubah kebijakan, terhadap perubahan indikator-indikator kesejahteraan domestik, antara lain perubahan surplus produsen domestik, perubahan penerimaan domestik dan perubahan penerimaan devisa.
Peningkatan suku bunga 5%, akan mengurangi areal kelapa sawit Indonesia sebesar 1,01 %. Pengaruh negatif terbesar adalah di Luar Sumatera, dengan penurunan areal kelapa sawit sebesar 0.11 %. Berdasarkan pola pengusahaan, areal perkebunan rakyat berkurang 0.014 %, perkebunan swasta bertambah 0.21 % dan perkebunan negara berkurang sebesar 0.18 %. Kebijakan di atas juga berdampak pada penurunan produktivitas perkebunan swasta sebesar 0.45 %, sedangkan kebijakan tersebut tidak berdampak negatif terhadap produktivitas perkebunan rakyat dan negara. Dampak lainnya adalah penurunan produksi minyak sawit Indonesia, penurunan ekspor CPO Indonesia sebesar 2.41 %.
Peningkatan harga pupuk 10 % memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan areal kelapa sawit Indonesia, maupun pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan produksi. Pengembangan real baru di Sumatera Bagian Utara menurun 0.01 %, di Wilayah Sumatera Lainnya 0.51 % dan Luar Sumatera 0.50 %. Sedangkan dari sisi pengusahaan, areal perkebunan rakyat berkurang 0.42 %, perkebunan swasta berkurang 0.52 % dan perkebunan negara berkurang 0.53 %. Secara agregat kenaikan harga pupuk tidak merangsang pertumbuhan areal kelapa sawit Indonesia, dengan laju negatif 1.02 %.
Peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan produktivitas di semua wilayah. Tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia menurun 0.38 %. Dengan menurunnya produktivitas, produksi CPO Indonesia turun 2.83 %. Penurunan produksi ini juga diikuti dengan menurunnya ekspor CPO Indonesia sebesar 1.31 %. Penurunan ekspor tersebut antara lain dipengaruhi oleh penurunan harga CPO di pasar dunia sebesar 1.47 %.
Kombinasi kedua kebijakan di atas berdampak pada pertumbuhan negatif areal kelapa sawit di semua wilayah, yakni areal kelapa sawit di Sumatera Bagian Utara berkurang 0.011 %, Wilayah Sumatera Lainnya berkurang 0.505 % dan Luar Sumatera berkurang 0.514 %. Disamping itu, areal perkebunan rakyat berkurang 0.435 %, perkebunan swasta berkurang 0.067 % dan perkebunan negara berkurang sebesar 0.528 %. Secara agregat areal kelapa sawit Indonesia menurun 1.030 %; produktivitas kelapa sawit Indonesia berkurang sebesar 1.33 %.
Dengan meningkatnya harga domestik, produksi CPO Indonesia naik 1.08 % dan ekspor CPO Indonesia naik 1.31 % sebagai respon terhadap kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1.47 %.
Kombinasi kebijakan di atas berdampak pada pertumbuhan negatif areal kelapa sawit Indonesia sebesar 0.11 %. Namun peningkatan upah tenaga kerja berdampak positif pada peningkatan produktivitas di semua wilayah dan pola pengusahaan, yakni naik 0.90 %. Kenaikan tersebut mendorong peningkatan produksi CPO Indonesia sebesar 2.45 %. Disamping itu, juga berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia sebesar 0.87 %, serta peningkatan harga CPO dunia meningkat sebesar 0.98 %.
Kombinasi kebijakan di atas berdampak pada penurunan areal kelapa sawit di Sumatera Bagian Utara sebesar 0.007 %, peningkatan luas areal di Wilayah Sumatera Lainnya 0.247 % dan penurunan areal di Luar Sumatera 0.215 %. Berdasarkan pola pengusahaan, areal perkebunan rakyat berkurang 0.283 %, perkebunan swasta berkurang 0.045 % dan perkebunan negara bertambah 0.352 %. Secara agregat areal kelapa sawit Indonesia naik 0.024 %.
Produktivitas kelapa sawit Indonesia berkurang sebesar 0.06 % sebagai akibat pengurangan penggunaan pupuk. Namun kebijakan harga berdampak positif terhadap produksi minyak sawit Indonesia, secara agregat naik 1.22 %, dan juga berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia 0.87 %, dan peningkatan harga CPO dunia 0.98 %.
Simulasi di atas adalah dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif terhadap pengembangan kelapa sawit Indonesia. Dampak kebijakan tersebut adalah pertumbuhan luas areal sebesar 4.50 %, peningkatan produktivitas sebesar 5.49 % dan pertumbuhan produksi CPO Indonesia sebesar 8.37 %.
Kenaikan produksi CPO Indonesia sebagian besar disumbangkan oleh perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Kombinasi kebijakan di atas juga berdampak pada peningkatan ekspor CPO Indonesia sebesar 8.36 % serta harga CPO di pasar internasional naik 9.40 %.
Kebijakan devaluasi berdampak pada peningkatan harga CPO di pasar internasional. Peningkatan tersebut mendorong ekspor CPO Indonesia sebesar 7.20 %. Produksi CPO Indonesia naik 4.85 %. Pertumbuhan terbesar adalah perkebunan swasta, meningkat 4.33 %, sementara perkebunan negara dan perkebunan rakyat masing-masing adalah 0.31 % dan 0.20 %. 0.36 %. Berdasarkan wilayah, pertumbuhan tertinggi terdapat di Luar Sumatera, yakni 4.12 %%, sedangkan Sumatera Bagian Utara dan Wilayah Sumatera Lainnya kurang masing-masing adalah 0.53 % dan 0.19 %.
Peningkatan GDP Belanda ialah berdampak pada meningkatnya harga CPO di pasar internasional sebesar 0.550 US$/ton atau 0.095 %, dan selanjutnya mendorong ekspor CPO Indonesia naik 0.09 %.
Peningkatan GDP Belanda di atas juga berdampak pada peningkatan areal kelapa sawit Indonesia, sebesar 0.014 %. Peningkatan tersebut antara lain di RS 0.011 % dan NU 0.0001 %. Hal ini menandakan perluasan di Sumatera Bagian Utara sudah sangat terbatas. Sedangkan dari sisi pengusahaan, perkebunan swasta meningkat 0.011 %.
Peningkatan impor CPO dunia 10 % berdampak pada meningkatnya harga CPO di pasar internasional sebesar 4.196 US$/ton. Peningkatan tersebut berdampak pada peningkatan ekspor CPO Indonesia sebesar 61 ton atau 0.09 %.
Meningkatnya impor CPO dunia berdampak pada meningkat produksi CPO Indonesia 0.27 %, yang terdiri atas NU 0.01 %, RS 0.04 % dan OS 0.21 %. Disamping itu peningkatan harga CPO dunia juga berdampak pada perluasan areal.
Peningkatan produksi CPO dunia 20 % akan mempengaruhi harga keseimbangan dunia, yakni turun sebesar 4.68 %. Penurunan harga CPO dunia tersebut selanjutnya berdampak pada penurunan ekspor CPO Indonesia sebesar 0.37 %. Disamping itu juga berdampak negatif terhadap perluasan areal, tingkat produktivitas dan produksi CPO Indonesia. Penurunan produksi CPO terbesar adalah di Sumatera Bagian Utara baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan Luar Sumatera, masing-masing sebesar 0.13 %, 0.06 % dan 0.20 %. Penurunan tersebut antara lain oleh perkebunan rakyat berkurang 0.13, perkebunan swasta turun 0.06 dan perkebunan negara berkurang 0.20 %.
Penurunan produksi CPO Malysia 20 % berdampak positif terhadap perluasan areal, tingkat produktivitas dan produksi CPO Indonesia. Penurunan produksi CPO Malaysia mempengaruhi harga keseimbangan dunia, yakni naik 29.38 %, dan berdampak pada kenaikan ekspor CPO Indonesia 6.59 %.
Simulasi di atas berdampak pada peningkatan produksi : NU naik 1.44 %, RS naik 0.47 % dan OS naik 0.23 %. Berdasarkan pola pengusahaan, perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara masing-masing meningkat sebesar sebesar 0.10 %, 0.79 % dan 1.25 %. Dampak eksternal di atas juga meningkatkan produktivitas 3.33 %, serta luas areal kelapa sawit Indonesia sebesar 0.96 %.
Penurunan harga minyak kedele dunia 10 % berdampak pada meningkatnya permintaan akan minyak sawit dunia. Peningkatan sisi permintaan tersebut berdampak pada meningkatnya harga CPO di pasar internasional sebesar 4.26 %. Dampak peningkatan hargaCPO dunia tersebut adalah meningkatnya ekspor Malaysia dan Ekspor Indonesia. Dari hubungan di atas dapat dijelaskan bahwa minyak kedele memiliki sifat komplemen dengan minyak sawit dunia.
Produksi CPO Indonesia naik 0.27 %, terdiri atas: NU naik 0.23 %, RS naik 0.02 % dan OS naik 0.02 %. Sedangkan berdasarkan pengusahaan, produksi perkebunan rakyat naik 0.059 %, perkebunan swasta naik 0.06 % dan perkebunan negara naik 0.15 %.
Peningkatan produksi CPO Indonesia antara lain : NU naik 0.01 %, RS naik 4.59 % dan OS naik 3.83 %. Berdasarkan pola pengusahaan, produksi perkebunan rakyat naik 0.02%, perkebunan swasta naik 0,1 % dan perkebunan negara naik 8.39 %.
Peningkatan GDP Belanda berdampak pada meningkatnya produksi dan ekspor CPO Indonesia. Surplus konsumen betambah Rp 39 trilyun, yang sebagian besar dinikmati oleh perkebunan negara di Wilayah Sumatera Lainya. Perubahan penerimaan domestik adalah Rp 154.66 milyar dan devisa negara bertambah US $ 9802.49. Penuruan produksi CPO Malaysia memberikan surplus devisa negara yang sangat besar, yakni US $ 2 060 923,75.Peningkatan ekspor sisa dunia 10 % menghasilkan surplus
devisa negara US $ 88 022.72. Dampak peningkatan produksi CPO dunia adalah
menurunnya harga CPO dunia. Penurunan ini berdampak pada menurunnya volume
eskpor CPO Indonesia, dan selanjutnya berdampak langsung terhadap penurunan
penerimaan devisa, sebesar US $ 310 379.74 . (Tabel Lampiran 3).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomics Theory : A Mathematical Approach. McGraw-Hill International Editions, Singapore.
Intriligator, M.D. 1978. Econometric Model. Techniques and Application. Prentice Hall International. New Delhi.
Koutsoyiannis, A. 1975. Modern Microeconomics. Halsted Press Book Water 100 Ontario.
Loekman, S. dan R. Winahyu. 1991. Kelapa Sawit. Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfield. 1991. Econometrics Model and Economic Forecast. 3rd ed. McGraw-Hill International Editions, Singapore.
Saragih, B. 1998. Mengembangkan Industri Hilir Berbasis Minyak. Semai (9) 1998 : 16-17.
SAS/ETS User Guide. 1982. SAS Institute Inc. Cary. North Caroline. USA.
Theil, H. and A. Zellner. 1962. Three Stage Least Square : Simultaneous Estimation of Simultaneous Equations . Econometrica 1 : 54-80.
Tabel Lampiran 4. Validasi Model Komoditas Kelapa Sawit
RMS RMS % Bias Reg Dist Var Covar U1 U
Variable Error Error (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
APRU 621461 795.4892 0.000 0.999 0.001 0.984 0.016 6.169 0.821
APRS 21456 23.4486 0.291 0.001 0.709 0.006 0.704 0.077 0.039
APRO 998561 1455 0.096 0.903 0.001 0.667 0.236 7.688 0.962
APBU 22487 13.4540 0.057 0.041 0.902 0.106 0.837 0.085 0.042
APBS 10886546 19216 0.162 0.838 0.000 0.770 0.069 28.837 0.993
APBO 8009 64.0113 0.152 0.000 0.848 0.002 0.846 0.058 0.029
APNU 8807 3.4378 0.000 0.003 0.997 0.173 0.827 0.035 0.017
APNS 18695708 22640 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 205.351 0.999
APNO 2906541 6051 0.162 0.838 0.000 0.827 0.012 60.415 0.992
PVRU 15.7498 606.2326 0.009 0.989 0.002 0.927 0.064 5.331 0.833
PVRS 2253 132207 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 901.617 0.999
PVRO 264.6741 14825 0.094 0.906 0.000 0.905 0.001 146.370 0.990
PVBU 80.0423 1898 0.094 0.906 0.000 0.899 0.008 18.837 0.933
PVBS 1045 40642 0.091 0.909 0.000 0.908 0.001 360.262 0.996
PVBO 172.8362 9044 0.098 0.902 0.000 0.892 0.010 75.267 0.984
PVNU 171.0822 3773 0.093 0.907 0.000 0.901 0.006 38.530 0.983
PVNS 645.0491 16630 0.699 0.301 0.000 0.299 0.002 183.079 0.999
PVNO 588.7618 54894 0.095 0.905 0.000 0.900 0.005 216.648 0.998
EXCI 617922 41714 0.159 0.841 0.000 0.837 0.004 353.185 0.999
EXCM 851.5911 13.6814 0.847 0.087 0.066 0.074 0.079 0.141 0.066
HCDN 67533 12667 0.097 0.903 0.000 0.893 0.010 100.592 0.994
HCWD 42969 11324 0.162 0.838 0.000 0.834 0.005 105.194 0.995
Lampiran 5. Daftar Peubah yang Digunakan dalam Model
APRUt = luas areal kelapa sawit rakyat NU
APRSt = luas areal kelapa sawit rakyat RS
APROt = luas areal kelapa sawit rakyat OS
APBUt = luas areal sawit swasta NU
APBSt = luas areal sawit swasta RS
APBOt = luas areal sawit swasta OS
APNUt = luas areal sawit negara NU
APNSt = luas areal kelapa sawit negara RS
APNOt = luas areal sawit negara OS
PVRUt = produktivitas sawit rakyat NU
PVRSt = produktivitas sawit rakyat RS
PVROt = produktivitas sawit rakyat OS
PVBUt = produktivitas sawit swasta NU
PVBSt = produktivitas sawit swasta RS
PVBOt = produktivitas sawit swasta OS
PVNUt = produktivitas sawit negara NU
PVNSt = produktivitas sawit negara RS
PVNOt = produktivitas sawit negara OS
EXCIt = ekspor CPO Indonesia
EXCMt = ekspor CPO Malaysia
HCDNt = minyak sawit domestik
HCWDt = harga minyak sawit dunia
APRTt = areal total sawit rakyat
APPRUt = areal produktif sawit rakyat NU
APPRSt = areal produktif sawit rakyat RS
APPROt = areal produktif sawit rakyat OS
APPRTt = areal produktif sawit rakyat
APBTt = areal sawit swasta NU
APPBTt = areal sawit swasta RS
APPBUt = areal produktif swasta NU
APPBSt = areal produktif swasta RS
APPBOt = areal produktif swasta OS
APPNUt = areal produktif negara NU
APPNSt = areal produktif negara RS
APPNOt = areal produktif negara OS
PPRUt = produksi minyak sawit rakyat NU
PPRSt = produksi minyak sawit rakyat RS
PPROt = produksi minyak sawit rakyat OS
PPRTt = total produksi sawit rakyat
PPBUt = produksi m. sawit swasta NU
PPBSt = produksi minyak sawit swasta RS
PPBOt = produksi CPO swasta OS
PPBTt = total produksi CPO swasta
PPNUt = produksi CPO negara NU
PPNSt = produksi CPO negara RS
PPNOt = produksi CPO negara OS
PPNTt = total produksi CPO negara
PCIt = total produksi CPO Indonesia
PCMt = produksi CPO Malaysia
EXROWt = ekspor CPO sisa dunia
EXRIt = ekspor CPO sisa Indonesia
EXCWt = ekspor CPO dunia
HPUKt = harga riel pupuk
HRDNt = harga riel karet domestik
HNDNt = harga riel kopra domestik
SBUHt = suku bunga harapan
D1 = kebijaksanaan areal
D2 = kebijakan pembatasan ekspor
NTRIt = nilai tukar efektif riel Rp/US $
NTRMt = nilai tukar efektif riel Malaysia
Trend = perkembangan teknologi.
IMCWt = total impor CPO dunia
HBWDt = harga riel minyak kedele dunia
HRWDt=karet; HNWDt = kopra;
JCHUt = jumlah hari hujan NU
JCHSt = RS JCHOt = OS
UTKUt = upah tenaga kerja NU
UTKSt = RS; UTKOt = OS
STOMt = stok CPO Malaysia
STOIt = stok CPO Indonesia
STOWt = stok CPO dunia